Perbandingan Sepasang Anak Kembar yang Tumbuh di Dua Negara Berbeda

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 21 Mei 2022 | 09:00 WIB
Ilustrasi anak kembar Korea. (PxHere)

Nationalgeographic.co.id—Para peneliti telah memanfaatkan kesempatan langka untuk mempelajari sepasang kembar identik (alias monozigot) yang dipisahkan pada awal kehidupan mereka. Mereka telah dipisahkan sejak kecil dan kemudian dibesarkan di negara-negara yang berbeda oleh keluarga-keluarga yang berbeda.

Ada beberapa hasil mengejutkan dari upaya pembandingan kedua anak kembar ini. Salah satunya terkait IQ atau kecerdasan intelektual mereka.

Selama ini IQ telah terbukti hingga 80 persen diwariskan dan anak-anak kembar biasanya memiliki nilai yang kira-kira sama pada tes kognitif. Namun pada dua anak kembar ini, terdapat perbedaan besar 16 poin IQ di antara mereka.

Tentu saja ada banyak kesamaan di antara pasangan ini, tetapi perbedaannya juga mencolok. Hal ini menunjukkan bahwa perlu dipikirkan ulang tentang seberapa banyak kecerdasan kita bergantung pada gen kita dan seberapa banyak dipengaruhi oleh lingkungan tempat kita dibesarkan.

"Kesamaan terbukti dalam kepribadian, harga diri, kesehatan mental, kepuasan kerja, dan riwayat kehidupan medis," tulis para peneliti dalam makalah mereka yang telah terbit di jurnal Personality and Individual Differences.

"Berbeda dengan penelitian sebelumnya, skor kecerdasan umum dan penalaran non-verbal si kembar menunjukkan beberapa perbedaan yang mencolok," catat mereka seperti dilansir Science Alert.

Pasangan kembar ini lahir di Korea Selatan pada tahun 1974, dan berpisah pada usia dua tahun setelah salah satu dari mereka tersesat di sebuah pasar. Setelah dibawa ke rumah sakit yang berjarak 100 mil dari rumah keluarganya, dan terlepas dari upaya keluarga kandungnya untuk menemukannya, saudara kandung yang hilang itu akhirnya diadopsi oleh pasangan di Amerika Serikat.

Baca Juga: Perubahan Tubuh Pria Kembar: Yang Satu Vegan, Lainnya Pemakan Daging

Baca Juga: Umeno Sumiyama dan Koume Kodama, Kembar Identik Tertua di Dunia

Si kembar dipertemukan kembali pada tahun 2020 setelah si kembar AS memberikan sampel DNA sebagai bagian dari program untuk melacak anak-anak yang hilang dari keluarga di Korea Selatan. Pasangan anak kembar itu kemudian dihubungi oleh para peneliti, dan menjalani serangkaian tes dan wawancara.

Terlepas dari banyak kesamaan—termasuk di bidang kesehatan mental dan kepuasan kerja—saudara kembar yang dibesarkan di rumah di Korea Selatan mendapat skor lebih tinggi dalam hal penalaran perseptual dan kecepatan pemrosesan.

Penyebab atau alasan atas perbedaan ini tidaklah jelas meskipun ada keterangan-keterangan yang dianggap terkait. Si kembar AS menderita tiga gegar otak saat dewasa, catat para peneliti, yang membuatnya merasa seperti "orang yang berbeda". Namun, tidak mungkin untuk mengatakan dengan pasti apakah ini memengaruhi skor yang terlihat dalam tes kognitif.

Yang juga patut dipertimbangkan adalah bahwa rumah keluarga tempat si kembar dibesarkan sama sekali tidak serupa, selain berada di belahan dunia yang sama sekali berbeda. Ada lebih banyak konflik dan lebih sedikit kebebasan di rumah AS dibandingkan dengan yang ada di Korea Selatan, para peneliti melaporkan.

"Si kembar dibesarkan di lingkungan yang sangat berbeda, selain dari negara dan budaya yang berbeda," tulis para peneliti.

Apa yang juga didukung oleh penelitian ini dalam hal nature versus nurture adalah gagasan bahwa sifat-sifat perilaku tertentu dapat tetap sama, bahkan ketika anak-anak dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Kedua kembar mendapat nilai tinggi dalam hal tingkat kehati-hatian dan harga diri mereka, misalnya.

Secara umum, si kembar AS lebih individualistis dan kurang kolektivis dalam hal budaya nasional, dibandingkan dengan si kembar Korea Selatan. Para peneliti berpikir bahwa perbedaan budaya ini kemungkinan berdampak pada beberapa skor kepribadian yang dilaporkan.

Meskipun penting untuk tidak menarik terlalu banyak kesimpulan tegas dari sepasang anak kembar, temuan ini membuat bacaan yang menarik. Dengan adanya penyebaran tes DNA yang mudah diakses berarti kemungkinan lebih banyak kembaran yang hilang akan ditemukan di tahun-tahun mendatang sehingga memberikan ilmuwan lebih banyak data untuk dikerjakan.

"Kita perlu mengidentifikasi lebih banyak kasus seperti itu jika memang ada," kata Nancy Segal, psikolog evolusioner dari California State University, penulis pertama studi tersebut, kepada PsyPost.

"Dan kami masih belum memahami semua mekanisme yang terlibat dari gen pada tingkat molekuler hingga perilaku yang kami amati setiap hari."