Apakah Kisah Max Havelaar Nyata? Mari Mencari Jejaknya di Lebak

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 30 Mei 2022 | 07:00 WIB
Eduard Douwes Dekker, menerbitkan novel dengan nama pena Multatuli bertajuk 'Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij' terbit pada 1860 di Belanda. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Selepas Rangkasbitung, poster-poster wajah peserta Pemilukada Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tampak menawarkan semangat perubahan kepada warga. Mungkin semangat yang sama pernah muncul di benak Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker dalam novelnya Max Havelaar.

Lelaki kelahiran Amsterdam itu pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist sebagai asisten residen di Lebak pada Januari hingga April 1856. Kala itu Lebak adalah suatu wilayah terpelosok di bawah residensi Banten.

Novel dengan judul asli Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij itu terbit pada 1860 di Belanda. Eduard berkisah tentang pengamatannya soal  praktek pemerintahan lokal dalam masa Cultuurstelsel—tanam paksa—pada pertengahan abad ke-19 di Lebak.

Kelak, novel ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel pun dihapus pada 1870. Eduard telah membongkar kebobrokan Hindia Belanda dan berjuang tanpa memandang ras.

Beranda depan rumah bupati Lebak yang teduh ini dihiasi empat pilar gaya tuskan. Asisten Residen C.E.P. Carolus (dalam novel Max Havelaar bernama Slotering) diduga diracun oleh Bupati Raden Adipati Karta Natanagara saat diundang makan malam. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Di selatan alun-alun Lebak, berdiri rumah berarsitektur indis bercat putih bersih. Kelima anak tangganya mengantarkan tetamu menuju beranda luas dengan  empat pilar gaya tuskan. Anggun dan memesona.

Pendapa yang berada di depannya juga tetap dipertahankan, baik lantai maupun pilarnya. Pada pertengahan abad ke-19, di rumah itulah Bupati Raden Adipati Karta Natanagara tinggal. Warga setempat menyebutnya Regen Sepoeh, seseorang yang sangat ditakuti sekaliguis dihormati di Kabupeten Lebak.

Semua orang yang pernah membaca novel Max Havelaar—atau menonton film produksi 1976 garapan Alphonse Marie Rademaker dengan judul yang sama—pasti ingin memasuki rumah cantik itu. Mungkin orang akan menebak-nebak: di ruangan mana Slotering diracun oleh Sang Bupati tatkala diundang makan malam? Slotering merupakan nama yang disamarkan Eduard untuk C.E.P. Carolus, Asisten Residen sebelum Eduard, yang diduga tewas diracun oleh Sang Bupati.

Natanagara menjabat Bupati Lebak periode 1830-1865. Makamnya yang terletak di belakang Masjid Agung Lebak—tepat di sisi barat alun-alun—tampak sangat sederhana. Dalam novel Max Havelaar, dia dikisahkan sebagai seorang feodalistis yang kerap menindas rakyat. Bahkan, di halaman rumah itulah bupati memerintahkan warga desa untuk kerja paksa mencabuti rumput.

Sejatinya Eduard marah melihat ketidakadilan di Lebak. Betapa rakyat Lebak miskin, sementara bupati mereka hidup bergelimang kemewahan. Bahkan menantu sang bupati, Demang Raden Wirakusuma, kerap berperilaku kasar dan memeras warga. Perilaku dua tokoh itu dikisahkan melebihi penjajah.    

Bagi warga Lebak, nama "Multatuli" telah diabadikan menjadi nama salah satu jalan raya utama yang menuju ke kawasan alun-alun. Wawan Sukmara selaku Kabid Budaya pada Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak berkata, “Banyak tinggalan bangunan zaman Belanda di Lebak, namun Max Havelaar telah menjadi salah satu ikon kota ini.”

Berkait dengan penggambaran Natanagara dalam novel tersebut, Wawan berkata, “Warga Lebak masih melihat dia sebagai sosok yang terhormat.” Sementara, perihal pro dan kontra warga soal Eduard sebagai tokoh dalam sejarah Lebak sekaligus pejuang kemanusiaan, dia berkata, “Kami masih membutuhkan penjelasan dari ahli sejarah sehingga kami bisa menempatkan diri nantinya.”