Apakah Kisah Max Havelaar Nyata? Mari Mencari Jejaknya di Lebak

By Mahandis Yoanata Thamrin, Senin, 30 Mei 2022 | 07:00 WIB
Eduard Douwes Dekker, menerbitkan novel dengan nama pena Multatuli bertajuk 'Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij' terbit pada 1860 di Belanda. (Wikimedia Commons)

Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang  telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.

Bekas rumah asisten residen di Lebak. Eduard Douwes Dekker dan keluarganya diduga pernah tinggal di rumah ini. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari rumah berarsitektur indis ini yang selamat. Kini, situs ini menjadi salah satu cagar budaya Propinsi Banten. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sungguh kehidupan yang dramatis, nasib Eduard tak semujur novelnya. Setelah tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dia kembali ke tanah kelahiran. Berbagai profesi dari redaktur hingga juru bahasa telah dicoba, namun kandas.

Kemudian meja judi menjadi pelarian Eduard, hingga dia jatuh miskin. Dia pindah ke sebuah kota pinggiran Sungai Rhein di Jerman, Ingelheim am Rhein. "Akhirnya, dia meninggal sebagai gelandangan," ujar Ere. "Dia tidak punya rumah."

Eduard memang pernah menjadi asisten residen di kota ini, namun apakah novel Max Havelaar merupakan kisah sejarah? Ere menuturkan bahwa tokoh-tokoh, peristiwa dan tempat yang disebutkan dalam karya Eduard memang pernah ada. Sementara, perilaku bupati yg memerintahkan rakyatnya untuk serahkan upeti dan kerja paksa  merupakan hal wajar yang terjadi di beberapa daerah saat itu. “Kita percaya karena fenomena dalam novel itu benar terjadi di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.”

Artikel ini pernah terbit pada April 2013.