Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.
Sungguh kehidupan yang dramatis, nasib Eduard tak semujur novelnya. Setelah tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dia kembali ke tanah kelahiran. Berbagai profesi dari redaktur hingga juru bahasa telah dicoba, namun kandas.
Kemudian meja judi menjadi pelarian Eduard, hingga dia jatuh miskin. Dia pindah ke sebuah kota pinggiran Sungai Rhein di Jerman, Ingelheim am Rhein. "Akhirnya, dia meninggal sebagai gelandangan," ujar Ere. "Dia tidak punya rumah."
Eduard memang pernah menjadi asisten residen di kota ini, namun apakah novel Max Havelaar merupakan kisah sejarah? Ere menuturkan bahwa tokoh-tokoh, peristiwa dan tempat yang disebutkan dalam karya Eduard memang pernah ada. Sementara, perilaku bupati yg memerintahkan rakyatnya untuk serahkan upeti dan kerja paksa merupakan hal wajar yang terjadi di beberapa daerah saat itu. “Kita percaya karena fenomena dalam novel itu benar terjadi di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.”
Artikel ini pernah terbit pada April 2013.