Nationalgeographic.co.id - Khususnya pada Hari Tahun Baru, plakat doa menumpuk di kuil Shinto dan kuil Buddha di seluruh Jepang. Ditulis pada plakat kayu, yang disebut ema, harapan-harapan ini ‘menggapai’ langit.
Selama lebih dari satu milenium, orang Jepang menggunakan plakat ini untuk memohon jodoh, rezeki, umur panjang, atau kesuksesan akademis kepada para dewa. Dalam dua tahun terakhir, muncul permohonan baru: perlindungan dari COVID-19.
Jika berkunjung ke kuil-kuil tertentu, Anda dapat menemukan ema yang dihiasi dengan permohonan seputar pandemi. Ema tersebut dihiasi dengan gambar Amabie, makhluk gaib dalam cerita rakyat Jepang yang bisa mengusir wabah.
Kuil Kasuga Taisha di Nara bahkan menjual ema anti-virus corona yang dihias dengan karakter kartun.
“Pandemi telah memperkuat peran penting ema,” kata Jennifer Robertson, seorang antropolog dan profesor antropologi dan sejarah seni dari Universitas Michigan. Ia meneliti plakat ini selama 40 tahun.
Ema berfungsi sebagai saluran penting untuk ketakutan dan kecemasan di negara di mana lebih dari 1,7 juta orang telah tertular COVID-19 sejak Januari 2020. Ini membantu meringankan jiwa dengan melemparkan harapan ke angin. Fungsinya mirip dengan bendera doa Tibet, tablet nazar Buddha, dan lentera yang mengapung atau diterbangkan.
Dengan biaya masing-masing sekitar $4, ema juga membantu mendanai kuil dan tempat pemujaan. Saat mengunjungi situs suci ini, pengunjung dipersilakan untuk menggantung plakat yang sarat dengan harapan dan ambisi mereka.
Kapan ema pertama kali digunakan?
Versi paling awal dari ema pada abad kedelapan menggambarkan kuda. “Ini mewakili hewan hidup yang pernah dikorbankan untuk dewa dan pemimpin yang meninggal selama upacara Shinto,” kata Robertson. Ema diterjemahkan sebagai ‘gambar kuda.’
Sekarang, plakat ini terdiri dari beragam gambar binatang, bunga, geisha, hati, pohon, dan air terjun. Ada sebuah rak khusus di kuil tempat di mana pengunjung dapat menggantungkan ema yang berisi harapan. Ema dapat dibeli dalam kondisi polos, kemudian dihias dan ditulisi permohonan.
Doa-doa ini kemudian dibaca oleh seorang pendeta senior di kuil atau tempat suci agar terkabul. “Kebanyakan ema biasanya dibakar pada sebuah ritual di kuil disebut ema kuy,” kata Robertson. “Pembakaran ini sebagai simbol melepaskan pesan, doa, atau permintaan untuk ditindaklanjuti lebih lanjut oleh dewa.” Jika petisi mereka dikabulkan, beberapa orang meninggalkan ema lain sebagai ucapan terima kasih, tambahnya.
Hingga zaman modern, ema tetap menjadi pusat budaya Jepang. Ini mewakili hubungan mendalam orang Jepang dengan dua agama utamanya, Shinto dan Buddha.