Sebelum bergerak, Ki Hajar beserta dengan jajaran petinggi Taman Siswa, mengadakan sidang pertemuan yang membahas tentang perlawanan keras sebelum ditetapkannya ordonansi itu.
Pada akhirnya, "Ki Hajar Dewantara sebagai pemimpin utama Taman Siswa melakukan protes menentang onderwijs-ordonantie 1932," imbuh Siti Fatimah. Ia menyebut bahwa ordonansi tersebut telah melamapui batas.
Dalam bahasa Belanda, Ki Hajar Dewantara menyurati gubernur jendral Hindia Belanda yang berlokasi di Bogor. Potongan surat tersebut berbunyi: "karena terpaksa boleh jadi kami akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya."
Baginya, pemerintah kolonial Hindia Belanda dianggap terlalu gegabah, tergesa-gesa dan mengesampingkan hak asasi manusia. Hanya lewat pendidikan, masyarakat pribumi bisa merengkuh kemerdekaannya.
Baca Juga: Seberapa Banyak Jalan Ki Hajar Dewantara di Indonesia?
Baca Juga: Tiga Ajaran Penting dari Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia
Baca Juga: Kesamaan Konsep Pendidikan Finlandia dan Ki Hadjar Dewantara
Baca Juga: Sistem Pondok Taman Siswa yang Memupuk Semangat Kekeluargaan
Perlawanan Ki Hajar semakin menguat menjelang diterapkannya ordonansi. Ia mendapat dukungan masyarakat luas, baik di bidang agama, politik hingga sosial. Media massa mulai ramai meliput upaya perlawanan besar-besaran terhadap onderwijs-ordonantie 1932.
Peran media untuk menggiring opini agaknya berhasil. Pemerintah kolonial mengantisipasi terjadinya gejolak yang lebih besar. Mereka akhirnya berinisiatif untuk membuka pembicaraan dengan Ki Hajar Dewantara dan para petinggi Taman Siswa.
Pembicaraan itu menemui titik terang hingga keluar ordonansi baru pada 13 Februari 1933. Ordonansi itu berisi pembatalan pelaksanaan onderwijs-ordonantie 1932.