Nationalgeographic.co.id—Pada 1890, para ilmuwan dibingungkan dengan fosil makhluk misterius yang telah punah di Skotlandia. Makhluk kecil ini mirip ikan dan diklasifikasi sebagai Palaeospondylus gunni berusia sekitar 390 juta tahun yang lalu, selama Devon Tengah.
Penelitian terbaru menyingkap tentang fosil yang terawetkan dengan baik ini. Para ilmuwan memperkirakan bahwa fosil ini adalah nenek moyang paling awal dari evolusi tetrapoda, hewan dengan kaki empat, termasuk manusia. Mereka memaparkan temuan itu di jurnal Nature pada Rabu, 25 Mei 2022.
"Hewan aneh ini telah membingungkan para ilmuwan sejak penemuannya pada 1890 sebagai teka-teki yang tidak mungkin dipecahkan," kata Yuzhi Hu dari Research School of Physics and Engineering, Australian National University, dikutip dari Science Alert.
Palaeospondylus adalah vertebrata kecil mirip ikan yang panjangnya sekitar lima sentimeter, dan tubuhnya seperti belut. Fosilnya berlimpah. Akan tetapi karena ukurannya kecil—dan kualitas rekonstruksi tengkorak yang buruk dalam CT-scan atau model lilin, dan rusak—menjadikan temuan ini sulit diteliti untuk ditempatkan dalam pohon evolusi.
Ilmuwan memperkirakan bahwa makhluk ini punya kesamaan fitur dengan ikan dengan rahang dan ikan tanpa rahang. Tetap saja, ada beberapa ciri yang tidak biasa yang paling membingungkan, seperti tidak adanya gigi atau tulang dermal pada catatan fosilnya.
"Perbandingan morfologis hewan ini selalu menantang bagi para ilmuwan. Namun, perbaikan terbaru dalam segmentasi dan visualisasi tiga dimensi resolusi tinggi telah membuat tugas yang sebelumnya mustahil ini menjadi mungkin," lanjutnya. "Menemukan spesimen yang diawetkan sebaik yang kami gunakan seperti memenangkan lotre atau bahkan lebih baik!"
Maka, untuk mengatasi beberapa masalah ini, para peneliti menggunakan sinkrotron RIKEN SPring-8 yang sang kuat. Tujuannya adalah menghasilkan pemindaian mikro-CT dengan resolusi tinggi lewat sinar-X radiasi sinkrotron.
Penelitian ini jadi berbeda daripada kebanyakan lainnya, ketika kepala fosil harus digali. Para peneliti memilih untuk menggunakan fosil tertentu dan mengamatinya dengan kepala tetap sepenuhnya tertanam di dalam batuan tanah.
“Memilih spesimen terbaik untuk pemindaian mikro-CT dan dengan hati-hati memangkas batu di sekitar tengkorak yang memfosil memungkinkan kami meningkatkan resolusi pemindaian,” kata penulis utama Tatsuya Hirasawa dari Department of Earth and Planetary Science, Graduate School of Science, the University of Tokyo, Jepang.
“Meskipun bukan teknologi yang cukup mutakhir, persiapan ini tentu saja merupakan kunci pencapaian kami,” lanjutnya, dikutip dari Eurekalert.
Lewat penyelidikan fosil dengan pemindaian micro-CT dari sinar-X itu, memungkinkan para peneliti mencitrakan fosil-fosil dalam resolusi yang mantap tanpa merusaknya. Di sisi lain, cara ini memudahkan pemeriksaan dan rekonstruksi yang menyeluruh.