Mencabut rumput laut dari terumbu membutuhkan banyak tenaga, tetapi tidak rumit. Maka, Smith dan kawan-kawan ilmuwan lainnya mengajak partisipasi untuk memulihkan terumbu yang rusak.
"Kami sangat optimis dengan prakarsa semacam ini," kata Fiona Wilson, dari kelompok ilmu lingkungan Earthwatch Institute yang menjadi relawan. "Ini adalah cara yang benar-benar layak dan berteknologi rendah untuk mendukung pemulihan terumbu karang, dan itu sangat menarik untuk terumbu karang di seluruh dunia."
Baca Juga: Masyarakat Adat Australia Telah Budidayakan Tiram Selama 10.000 Tahun
Baca Juga: Peneliti Ungkap Alasan Mengapa Tabir Surya Membahayakan Terumbu Karang
Baca Juga: Apakah Lego Dapat Membantu Menyelamatkan Terumbu Karang di Singapura?
Baca Juga: Senyawa Baru di Atmosfer Ini Pengaruhi Kesehatan Manusia dan Iklim
Pada awalnya, Smith mengatakan, para peneliti tidak yakin kegiatan ini akan bermanfaat bagi terumbu karang saat proyeknya dimulai tahun 2018. Para peneliti juga awalnya khawatir jika pemindahan rumput laut ini bisa jadi bumerang dalam beberapa hal.
Namun kini, kondisi berubah. "Semuanya terlihat sangat positif untuk terumbu karang," ujar Smith. Data yang dia belum publikasikan menunjukkan bahwa karang baru terus meningkat.
Meski terumbu karang Great Barrier Reef telah mengalami pemutihan massal, terumbu ini relatif dibandingkan terumbu lain di dunia seperti Laut Karibia. Kabar tentang keberhasilan meningkatkan jumlah bayi terumbu karang membuka pemahaman tentang konservasi untuk pembersihan.
Namun, alga atau rumput laut liar bukanlah tantangan utama bagi terumbu karang, melainkan perubahan iklim yang dihasilkan oleh manusia.
"Saya khawatir tidak ada yang dapat mengembalikan mereka ke keadaan pra-industri, karena tekanan perubahan iklim dan pengerukan lokal tidak akan menghasilkan apa-apa," kata Smith. "Restorasi lebih merupakan stop-gap untuk mengulur waktu untuk aksi skala besar terhadap emisi dan sesuatu yang dapat diimplementasikan pada skala lokal untuk terumbu karang bernilai tinggi."