Nationalgeographic.co.id—Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menghentikan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Bencana dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-24 pada Selasa, 31 Mei 2022. Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana resmi dihentikan setelah rapat paripurna menyetujui laporan Komisi VIII terkait penghentian RUU tersebut.
"Kami menanyakan kepada peserta sidang yang terhormat apakah laporan Komisi VIII DPR RI terhadap pemberhentian pembahasan RUU tentang Penanggulangan Bencana dapat disetujui?" ujar Wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat. "Setuju," jawab peserta rapat diikuti ketukan palu oleh Dasco, seperti dikutip dari KOMPAS.com.
Dalam laporannya, Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menjelaskan RUU tersebut sudah dibahas sejak tahun 2020, tapi tak kunjung mendapatkan titik temu mengenai rumusan nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Ia mengatakan, dalam draf RUU yang diajukan oleh DPR, BNPB disebutkan secara eksplisit dalam bab kelembagaan sebagaimana dicantumkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
"Komisi VIII DPR memiliki semangat untuk memperkuat BNPB, di antaranya melalui anggaran, kelembagaan, dan koordinasi." ujar politikus PAN tersebut.
Namun, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah, bab kelembagaan hanya mencantumkan kata "badan", tidak menyebut BNPB secara eksplisit. Pemerintah beralasan tidak disebutkannya BNPB secara spesifik akan memberi fleksibilitas kepada presiden dalam menunjuk badan/lembaga mana pun dalam menanggulangi bencana di masa depan
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) menyesalkan penghentian pembahasan RUU tentang Penanggulangan Bencana (PB) ini. Padahal, pada Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 di Bali pekan lalu, Indonesia telah berkomitmen membangun ketangguhan bencana dan siap menjadi contoh bagi dunia.
"Kami menyesalkan keputusan ini dan menyayangkan mandeknya pembahasan RUU PB di saat kondisi dan situasi Indonesia yang terus mengalami peningkatan jumlah bencana. Ini mengingat penanganan bencana kini semakin kompleks, terutama di tengah pandemi, ancaman perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan yang semakin tinggi," ujar Avianto Amri, Ketua Umum MPBI, dalam keterengan tertulis MPBI.
Baca Juga: Anak Zaman Sekarang Bakal Lebih Sering Menghadapi Bencana Alam
Baca Juga: Bencana Iklim Tahun 536, Tahun Kegelapan dan Kaitannya dengan Krakatau
Baca Juga: Merapah Rempah: Ketika Pesona Rempah Menyimpan Bencana Pagebluk Kuno
Menurut Avianto, revisi UU PB merupakan hal krusial dan mendesak untuk dilakukan sebagai salah satu pengejawantahan upaya perlindungan negara terhadap rakyatnya. Pasalnya, berbagai perangkat kebijakan saat ini perlu disesuaikan, mulai dari landasan wewenang kepala daerah dalam penanganan bencana, hingga penentuan status dan jangka waktu bencana.
Yang juga tak kalah penting adalah penguatan sistem peringatan dini, peran TNI dan kepolisian, serta peran serta masyarakat, untuk penanggulangan bencana. Selain itu, prasyarat untuk kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi dan dapat menimbulkan bencana serta penganggaran untuk penanggulangan bencana juga perlu dibahas dan diatur.
Indonesia adalah negara yang berada di jalur Cincin Api Pasifik sehingga rentan dilanda gempa bumi dan letusan gunung berapi. Selain itu, Indonesia juga merupakan kepulauan yang dikelilingi lautan sehingga juga rentan ditimpa tsunami dan banjir rob.
Berdasarkan data BNPB, Indonesia mengalami sekitar 3.000-3.500 kejadian bencana per tahun. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya.
Oleh karena itu, MPBI mendesak para pihak untuk memikirkan dan mengalokasikansegala daya, upaya, dan waktu untuk memastikan isu-isu yang sudah diidentifikasi dalam proses diskusi RUU PB bisa segera diselesaikan. MPBI juga berharap adanya penyusunan instrumen-instrumen kebijakan dan peraturan lainnya terkait penanggulangan bencan di Indonesia.