Empat Kota Afrika Kuno yang Hilang: Apa yang Sesungguhnya Terjadi?

By Warsono, Jumat, 3 Juni 2022 | 16:00 WIB
Sebuah prasasti dari lokasi Thonis-Heracleion (gambar) cocok dengan salah satu dari peninggalan Nauk (K.N Rosandrani)

Nationalgeographic.co.id—Monumen besar Giza dan kuil agung Thebes menjadi saksi keagungan kota-kota Afrika yang mereka bangun. Namun tempat-tempat kuno lain di Afrika menyaingi keagungan mereka, tetapi melacak jejak pusat kota yang megah ini lebih sulit. Kota-kota yang pernah berkembang pesat ini, berlokasi di Mesir, Sudan, dan Mali masa kini, mundur dalam ketidakjelasan, kemegahan mereka tetap hilang dari sejarah hingga masa modern, ketika arkeolog membuat beberapa temuan yang mengejutkan tulis Patricia S. Daniels di laman National Geographic pada artikel berjudul "These four lost cities were jewels of ancient Afrika. What happened to them?"

Thonis-Heracleion, Mesir: pelabuhan yang berkembang pesat

Kota hilang Mesir kuno Thonis-Heracleion adalah salah satu penemuan kota tenggelam terbesar yang pernah ditemukan oleh arkeolog. Selama ribuan tahun bersembunyi di bawah air, dengan eksistensinya yang hanya tecatat di beberapa inskripsi dan teks kuno yang langka. Pelabuhan ini terletak di mulut sungai Nil berkembang setelah kekuatan Mesir memudar pada abad ketujuh SM. Dikenal sebagai Thonis bagi orang Mesir dan Heraclion bagi orang Yunani, pelabuhan itu berkembang sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan yang vital, dan kemudian menghilang.

Pada 2000, arkeolog kelautan Franck Goddio dari European Institute of Underwater Archeology menemukan mengapa tidak ada jejak darinya yang terlihat di sepanjang pesisirnya: Seluruh kota telah tenggelam di dasar Laut Mediterania pada abad kedelapan M. Mencari sekitar 6 kilometer dari garis pantai saat ini di Abu Qir Bay, 10 meter di bawah air, tim Goddio menemukan sisa-sisa kuil Amun dan sistem kanal yang menghubungkan kota.

Lebih dari 70 kapal karam dan ratusan jangkar mengungkapkan Thonis-Heracleion sebagai pusat perdagangan yang ramai setara dengan Babilonia dan Pompeii. Penemuan bawah air termasuk patung sphinx dan penguasa, cincin, koin, dan patung besar dewa Mesir Hapi dari granit merah, simbol kelimpahan. Di antara harta karun lainnya adalah keramik Yunani yang mewah dan keranjang anyaman berusia 2.400 tahun yang berisi buah.

Bagaimana kota yang menggeliat ini hilang di bawah ombak? Peneliti percaya kombinasi gempa bumi, diiringi gelombang besar, dan yang lembut, likuefaksi tanah menyebabkan Thonis-Heracleion tenggelam karena bebannya sendiri.

Sisi utara reruntuhan Kuil Osiris di Taposiris Magna, sebelah barat Alexandria. (Wikimedia Commons)

Alexandria, Mesir: pusat pendidikan dan kebudayaan

Pelabuhan Alexandria di Mediterania, di tepi Delta sungai Nil, Mesir, adalah kota terkenal yang didirikan oleh Alexander Agung, raja kekaisaran Yunani kuno dari Makedonia. Hari ini, sebagian besar dari kota tua telah tenggelam ke dasar laut dan bersemayam kira-kira enam meter di bawah air. Didirikan pada 332 SM selama perjalanan Alexander Agung, kota itu dapat diakses dari jalur perdagangan Mediterania, dengan cepat menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan. Pelajar Yunani, Mesir, dan Yahudi berbaur di antara kuil-kuil pendidikan Alexandria.

Distrik Mouseion termasuk Great Library, didirikan untuk mengumpulkan, menurut Aristeas, “semua buku-buku di seluruh dunia.” (sebagian besar hancur oleh api semasa perang dengan Romawi.) Beberapa pemikiran besar dari dunia kuno dibuat di rumah mereka di Alexandria, termasuk Euclid, Archimedes, dan Ptolemeaus. Juga dari Alexandria geografer Eratosthenes pertama kali mengukur dimensi Bumi. Ratusan pelajar di sana menghasilkan terjemahan pertama Perjanjian Lama dari bahasa Hebrew ke bahasa Yunani. Alexandria berkembang hingga abad ketujuh M, ketika itu jatuh ke tangan Persia dan kemudian penakluk dari Arab.

Tsunami besar pada 365 SM, antara lain, mendatangkan malapetaka. Bukannya ditinggalkan seperti banyak kota lainnya saat bencana melanda, Alexandria kuno tertelan menjadi sesuatu yang baru, kota modern yang dibangun di atasnya. Lokasi tepat dari beberapa monumen paling terkenal Alexandria, seperti makam Alexander Agung dan Cleopatra, masih menyisakan misteri.

Sejumlah piramida yang menyimpan rahasia purba dibangun dua milenium lalu mengelilingi Meroe, Sudan. (Andrew Mcconnell/Panos Pictures/National Geographic Traveler)
Meroe, Sudan: kota para ratu pejuang

Tidak semua kota yang kuat berkuasa di Mesir. Pemimpin Kush, kerajaan kuno di Nubia sepanjang Lembah sungai Nil bagian selatan, mendirikan ibu kota di Meroë pada abad keenam SM di Sudan saat ini. Dikelilingi oleh tanah yang subur dan berlokasi di tengah jalur perdagangan Afrika, kota itu didukung industri pengolahan besi yang memproduksi kepingan-kepingan emas berbentuk indah.

Budaya Kush campuran pengaruh Mesir dan bangsa Afrika lainnya. Di beberapa kuil, ukiran menggambarkan dewa dan dewi penting Mesir seperti Amun dan Isis; di tempat lainnya mereka menggambarkan Apedemak berkepala singa, dewa perang Kush yang sering ditampilkan bersama panah dan busur. Peninggalan orang Mesir yang paling mencolok 200 lebih piramida curam dan makam di Meroë, ditemukan di dua lokasi permakaman utama kota. Di sini, raja, ratu, dan bangsawan dikebumikan, terkadang ditemani jasad hewan yang dikurbankan dan para pelayan.

Kush juga terkenal karena penguasa perempuannya yang kuat. Dikenal sebagai kandakes, ratu dan ibu suri ini tidak segan-segan untuk mengangkat senjata. Sejarawan Yunani Strabo merujuk pada Ratu Amanirenas (menyebutnya dengan keliru sebagai Ratu Candace), yang bertempur melawan Romawi pada abad pertama SM sebagai “jenis perempuan maskulin, dan satu matanya buta.” Ratu Amanitore, yang memerintah di awal abad berikutnya, digambarkan di dinding kuil memegang pedang yang panjang.

Pada abad keempat M, kerajaan melemah, kemungkinan setelah serangan kerajaan terdekat Aksum. Bagian yang membanggakan dari sejarah bangsa Sudan, Meroë sebagian besar diabaikan oleh Barat sampai abad ke-19 dan ke-20, ketika perampok makam dan kemudian arkeolog menggali kekayaannya.

Masjid Agung Djenne, Mali. Dibangun pada awal abad ke-20 di situs masjid yang lebih tua. Bangunan ini menggunakan bahan dan desain yang digunakan selama satu milenium, setidaknya sejak Kekaisaran Mali (1240-1645 M). (Carsten ten Brink/World History Encyclopedia)

Jenne-Jeno, Mali: rumah para pengrajin

Gurun Sahara terbentang di Afrika bagian utara, menciptakan penghalang yang, dipercaya sejarawan Barat, menghalangi kota agar tidak berkembang sampai abad kesembilan SM, ketika pedagang dari utara mengatur jalur perdagangan melalui pasir yang luar biasa. Penemuan kota kuno Jenne-Jeno yang hidup, dekat Djenné di Mali modern, membuktikan mereka salah.

Pada 1970-an, foto udara mengungkapkan sisa-sisa gundukan permukiman di lahan subur dekat Sungai Niger. Di situs ini, arkeolog Susan dan Roderick McIntosh mengungkapkan komunitas yang dulunya ramai dengan penanggalan sekitar 250 SM, membuatnya salah satu kota tertua yang ditemukan di Afrika Sub-Sahara.

     

Baca Juga: Kota Kuno Kekaisaran Mittani Muncul Kembali di Sungai Tigris di Irak

Baca Juga: Merapah Rempah: Sejumput Cengkih Maluku di Rumah Tuan Puzurum

Baca Juga: Kota Kuno Busra asy-Syam, Saksi Kejayaan Tiga Peradaban Besar Dunia

Baca Juga: Kota Kuno Nippur, Salah Satu Kota Suci Dalam Peradaban Mesopotamia

Baca Juga: Histori Kota Kuno Memphis: Ibu Kota Penting bagi Peradaban Mesir Kuno

    

Para penduduk menanam padi, sorgum, dan sereal lainnya; membuat ornamen besi, tembaga, dan perunggu; dan membentuk tembikar yang halus dan patung terakota yang ekspresif. Ratusan hewan mungil dari tanah liat ditemukan di sana mungkin dibuat sebagai mainan untuk membuat anak-anak terhibur.

Mungkin 7.000 sampai 14.000 orang tinggal di hunian dari batu bata lumpur dan kemungkinan berdagang dengan kota-kota yang berkerumun di sekitarnya. Tata letak yang terjalin rapat, tidak memiliki istana dan bangunan megah lainnya, memberi kesan penduduk kota relatif egaliter. Jenne-Jeno menjadi kota yang sibuk selama hampir 1.000 tahun.

Pada abad ke-11 dan ke-12, kota mengecil, kemungkinan seperti kota-kota lain, sebagaimana Timbuktu, mulai berkembang pesat dan menarik populasi. Sekarang, Djenné dan situs-situs tetangganya adalah situs Warisan Dunia UNESCO.