Nationalgeographic.co.id—Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow beberapa waktu lalu telah membuat komitmen para pemimpin dunia untuk menghentikan deforestasi dan degradasi lahan. Namun mungkinkah ambisi deklarasi tersebut terlalu ambigu? Sebuah tim peneliti internasional menyelidiki pertanyaan ini.
Deklarasi para pemimpin dunia di Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan telah mewakili lebih dari 85 persen hutan dunia. Deklarasi tersebut jelas diharapkan dapat menyelamatkan hutan dunia, membalikannya dan mengurangi degradasi lahan pada tahun 2030.
Dalam konferensi di Glasgow pada awal November 2021 itu hadir 141 negara termasuk Brasil, Kanada, Cina, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Rusia, Inggris, dan AS. Negara-negara ini menandatangani perjanjian bersama untuk komitmen dari konferensi tersebut.
Deklarasi Para Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan adalah salah satu dari beberapa perjanjian yang dirancang untuk menjaga agar tujuan konferensi sebelumnya di Paris tetap terjaga. Tujuannya agar Perjanjian Paris tetap dalam jangkauan dan ikatan tak terpisahkan antara melindungi hutan dunia dengan perang melawan perubahan iklim.
Deklarasi tersebut telah dipuji oleh beberapa orang sebagai salah satu janji penggunaan hutan dan lahan yang paling signifikan yang dibuat selama COP26. Namun dalam analisis terbaru dari IPSL Sciences Laboratory of Climate and the Environment, Perancis menunjukkan hilangnya satu detail penting dalam komitmen tersebut.
Analisis baru tersebut mempertanyakan, apakah deforestasi yang ingin dihentikannya akan menjadi kotor atau bersih? Detail penting ini tampaknya dihilangkan dari perjanjian. Laporan analisis tersebut telah diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) dengan judul "How the Glasgow Declaration on Forests can help keep alive the 1.5 °C target" oleh peneliti International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) Thomas Gasser, Philippe Ciais dan rekan-rekannya.
Deforestasi kotor dan bersih berbeda, para peneliti menjelaskan, karena di sebagian besar negara, deforestasi dan reboisasi adalah proses yang terus terjadi pada waktu yang sama.
"Perbedaan itu penting, karena interpretasi yang berbeda tentang bagaimana negara dapat 'mengakhiri deforestasi' secara signifikan berdampak pada emisi karbon dioksida di masa depan. Sederhananya, mengakhiri deforestasi bruto akan menjadi langkah maju yang besar bagi iklim. Tetapi mempertimbangkan hanya deforestasi bersih yang dapat menjadi anekdot, dan bahkan merusak keanekaragaman hayati," tulis para peneliti dalam rilis media.
Dengan demikian, para peneliti mencatat bahwa penting untuk memahami bahwa menghentikan deforestasi pada tahun 2030 tidak berarti memiliki emisi CO2 nol pada tahun 2030. Hal itu karena dinamika siklus karbon yang kompleks.
Untuk menunjukkan pentingnya perbedaan antara hilangnya kawasan hutan kotor dan bersih, para peneliti mengembangkan tiga skenario yang memenuhi komitmen untuk menghentikan hilangnya kawasan hutan pada tahun 2030.
Dalam skenario ini, tim mengilustrasikan dunia di mana deforestasi bruto atau neto di negara-negara penandatangan terhenti pada tahun 2030. Skenario pertama memodelkan situasi di mana deforestasi bruto di negara-negara penandatangan berakhir pada tahun 2030.