Nationalgeographic.co.id - Pertandingan gladiator adalah bentuk hiburan yang paling umum dikenal dari Kekaisaran Romawi. Ini berkat budaya populer meniru permainan pertarungan ini dalam bentuk seperti film, novel, dan permainan.
Namun, budaya populer telah menyebabkan banyak orang mempercayai stereotip, mitos, dan kekeliruan tertentu tentang gladiator. Salah satunya adalah ketika kaisar mengacungkan jempolnya ke bawah untuk mengutuk gladiator yang kalah. Atau ke atas sebagai tanda belas kasihan. Stereotip ini menjadi sumber perdebatan di antara sejarawan.
Apakah benar nasib seorang gladiator ditentukan dari jempol semata? Sebagian berpendapat bahwa alih-alih menentukan nasib, itu adalah salah penafsiran. Akar masalah interpretasi adalah frasa Latin Pollice Verso, yang disebutkan oleh penulis kuno dalam menentukan nasib seorang gladiator. Karena jarang dirujuk dalam karya-karya kuno maka frasa itu dapat ditafsirkan dengan arti yang berbeda.
Pertarungan gladiator bukanlah pertarungan berdarah dan brutal seperti yang dibayangkan. Penelitian yang dilakukan pada kerangka gladiator menunjukkan bahwa mereka mengikuti aturan pertempuran yang ditetapkan. Salah satu gladiator akan melukai lawannya. Gladiator yang terluka kemudian mengangkat tangannya ke kerumunan. Lalu kaisar atau pejabat ketua menentukan nasibnya.
Kerumunan kemudian akan berteriak dan memberi isyarat. Biasanya, penilaian dibuat berdasarkan atas reaksi penonton. Kebenaran proses ini disetujui oleh para sejarawan. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai apa arti sebenarnya isyarat belas kasihan atau kematian itu.
Mengacungkan jempol
“Secara umum disepakati bahwa isyarat untuk kematian melibatkan ibu jari,” ungkap Daniel White dilansir dari laman Owncation. Bangsa Romawi kuno menyatakan bahwa ibu jari (pollice) memiliki kekuatan (pollet). Sebabnya ibu jari paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan jari-jari lainnya, terutama dalam memproduksi obat-obatan. Ibu jari juga mewakili lingga, yang juga menonjol tanda kekuasaan.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana gerakan yang memberi ibu jari kekuatan menentukan hidup dan mati itu. Juvenal menulis dalam Satire Ketiganya “… uerso pollice uulgus cum iubet, occidunt populariter”. Ini diterjemahkan menjadi “... dengan satu putaran meminta mereka membunuh”.
Deskripsi Juvenal ini membuat banyak orang percaya bahwa ibu jari yang menunjuk ke bawah melambangkan kematian.
Anthony Corbeill, seorang profesor klasik dari Universitas Virginia berpendapat lain. Ia menggunakan kutipan dari Juvenal ini sebagai bukti bahwa ibu jari diarahkan ke atas untuk mengutuk gladiator. Sedangkan Plinius Tua menulis bahwa jempol diacungkan ke bawah untuk menunjukkan persetujuan.
Artikel 1904 “The Passing of Jean Leon Gerome” menyebutkan bahwa mengacungkan jempol ke bawah tidak berarti membunuh gladiator yang kalah. Jempol diacungkan ke bawah bisa berarti belas kasihan karena melambangkan gladiator yang menang meletakkan senjatanya.
Bangsa Romawi percaya takhayul dan melantunkan frasa yang berkaitan dengan membunuh
Namun, sadar akan ketidakjelasan, Corbeill juga menyebutkan bahwa ‘jempol yang diputar’ itu mungkin mengarah ke dada. Ini melambangkan kemenangan gladiator yang menghunus pedangnya ke jantung lawan.
Sejarawan Edwin Post memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya keputusan kematian atau hukuman tidak dilakukan dengan jari. Ini disebabkan karena besarnya amfiteater dan kerumunan penonton.
Seorang gladiator tidak akan dapat melihat gerakan tangan dari posisinya di bagian bawah arena. “Sehingga ia juga tidak bisa membedakan ke arah mana ibu jari penonton menunjuk,” tambah White.
Baca Juga: Wanita-Wanita Tangguh dalam Pertarungan Brutal Gladiator Romawi
Baca Juga: Kaisar Romawi Commodus: Penguasa Korup yang Suka Membunuh Orang Cacat
Baca Juga: Mengapa Masyarakat Romawi Kuno Menggemari Olahraga Berdarah?
Post juga menyebutkan bahwa orang Romawi adalah orang yang sangat percaya takhayul. Mereka tidak akan mengarahkan ibu jari ke dada untuk melambangkan pedang yang ditusukkan jantung. Jika dilakukan, itu sama saja dengan melakukan pantomim kematian mereka sendiri.
Sebaliknya, Post berargumen bahwa penonton berteriak dan melantunkan frasa yang berkaitan dengan membunuh yang kalah.
Beragam gestur belas kasihan bagi gladiator yang kalah
Gestur belas kasihan sama ambigunya dengan kutukan, tetapi, secara umum disepakati di antara sejarawan bahwa itu bukan gerakan klasik mengacungkan jempol seperti yang ditunjukkan dalam budaya populer.
Sejumlah sejarawan memiliki pendapat lain. Kepalan tangan, dengan ibu jari ditekan ke jari lainnya atau di dalam kepalan, berarti belas kasihan bagi gladiator yang kalah. Gerakan ini memiliki beberapa kemungkinan validitas dengan alasan bahwa ibu jari melambangkan kekuatan. Atau ‘ibu jari yang bermusuhan’ melambangkan niat jahat sehingga harus disembunyikan saat menawarkan belas kasihan.
Penjelasan lain untuk gerakan belas kasihan adalah bahwa ibu jari dan jari telunjuk disatukan. Gestur ini mewakili pedang yang ditempatkan kembali ke dalam sarung untuk menyelamatkan gladiator yang kalah.
Nasib jempol belum diputuskan di zaman modern
Kurangnya bukti pasti dari sejarawan Romawi kuno membuat munculnya banyak perbedaan. Bahkan sumber-sumber kuno pun memiliki banyak perbedaan dalam penjelasan soal penentuan nasib gladiator.
Karena alasan tersebut, para sejarawan modern memilih sumber mana yang paling dapat diandalkan untuk membentuk pendapat mereka.
Dunia modern mungkin tidak pernah memiliki pemahaman yang pasti tentang bagaimana gladiator yang kalah diampuni atau dikutuk.