Selidik Sejarah Pemukiman Nusantara, Ilmuwan Analisis 16 Genom Purba

By Ricky Jenihansen, Senin, 13 Juni 2022 | 17:00 WIB
Kepulauan Wallacea. (Conservation International/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Untuk mendapatkan wawasan lebih lanjut tentang sejarah pemukiman Wallacea, para ilmuwan mengurutkan dan menganalisis enam belas genom purba dari berbagai pulau di Wallacea. Mereka menemukan bukti adanya pencampuran genetik berulang setidaknya 3.000 tahun yang lalu.

Seperti diketahui, Kepulauan Wallacea di Indonesia Timur saat ini memiliki sejarah panjang pendudukan oleh manusia modern. Khususnya, ekspansi maritim penutur Austronesia ke Wallacea. Jejak arkeologis dari gaya hidup neolitik dan jejak genetik di Kepulauan Wallacea masih dapat dideteksi di Indonesia Timur saat ini.

Kepulauan Wallacea selalu dipisahkan dari Asia dan Oseania oleh perairan laut dalam. Namun, pulau-pulau tropis ini adalah koridor bagi manusia modern yang bermigrasi ke daratan Australia hingga New Guinea selama zaman Pleistosen.

Kepulauan Wallacea telah menjadi rumah bagi kelompok manusia modern setidaknya selama 47 ribu tahun. Catatan arkeologi membuktikan transisi budaya utama di Wallacea yang dimulai sekitar 3.500 tahun yang lalu dan dikaitkan dengan perluasan petani berbahasa Austronesia, yang bercampur dengan kelompok pemburu-pengumpul lokal.

Namun, studi genetik sebelumnya dari penduduk modern telah menghasilkan perkiraan waktu yang bertentangan untuk pencampuran ini, mulai dari 1.100 hingga hampir 5.000 tahun yang lalu.

Untuk menjelaskan rincian ekspansi ini dan interaksi manusia yang dihasilkan, tim peneliti internasional menganalisis DNA dari 16 individu purba dari berbagai pulau di Wallacea. Hasil analisis tersebut akan sangat meningkatkan jumlah data genomik purba yang mewakili wilayah ini.

"Kami menemukan perbedaan mencolok antara wilayah di Wallacea dan yang mengejutkan, nenek moyang individu purba dari pulau-pulau selatan tidak dapat dijelaskan begitu saja dengan campuran antara kelompok yang terkait dengan Austronesia dan Papua," kata Sandra Oliveira, salah satu penulis utama studi tersebut dalam rilis media Universitas Airlangga.

Gua pintu masuk situs Topogaro 2, salah satu gua situs kompleks Topogaro yang terletak di Sulawesi Tengah. (Rintaro Ono)

Neneng moyang awal dari Daratan Asia Tenggara

Tim peneliti kemudian mengidentifikasi adanya migrasi leluhur dari Asia Tenggara Daratan, yang paling dekat dengan penutur Austroasiatik saat ini. Diperkirakan bahwa pencampuran terjadi pertama kali antara leluhur dari Asia Tenggara Daratan dan Papua dan bahwa aliran gen dari kelompok terkait Austronesia terjadi setelahnya.

"Komponen Asia Tenggara Daratan itu adalah misteri besar bagi saya. Saya menduga bahwa kita mungkin melihat kelompok-kelompok kecil, mungkin petani awal, yang melakukan perjalanan jauh, tidak meninggalkan jejak arkeologis atau linguistik di sepanjang jalan,," kata Peter Bellwood, seorang penulis studi yang telah melakukan pekerjaan arkeologi di Indonesia selama beberapa dekade.

Sementara identitas orang-orang terkait meluasnya nenek moyang Wallacea ini masih belum jelas, penemuan nenek moyang Asia Tenggara Daratan dan kemungkinan purbakalanya di pulau-pulau Wallacea selatan memiliki implikasi besar bagi pemahaman tentang penyebaran Neolitik ke Kepulauan Asia Tenggara.

"Temuan ini sangat penting bagi para arkeolog di wilayah tersebut," tambah Toetik Koesbardiati, antropolog Indonesia yang terlibat dalam penelitian tersebut. Dia menambahkan, "Kami pasti akan mengintensifkan upaya kami untuk mempelajari migrasi ini dengan bukti lain."

Penelitian ini juga mengungkapkan hubungan yang lebih dekat antara leluhur individu purba yang terkait dengan Austronesia dari Wallacea utara dan Pasifik. Hubungan tersebut kemudian dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Wallacea selatan, sebuah pola yang sesuai dengan bukti linguistik.

Toetik Koesbardiati (Tengah), Antropolog Indonesia (Universitas Airlangga) (Universitas Airlangga)

Selain itu, analisis ini dapat menjelaskan waktu pencampuran genetik Asia-Papua. "Penelitian sebelumnya berdasarkan populasi masa kini telah melaporkan perkiraan yang sangat berbeda, beberapa di antaranya mendahului bukti arkeologis untuk ekspansi Austronesia, sementara yang lain jauh lebih baru," kata Mark Stonekin, penulis senior studi tersebut.

Karena kita, lanjutnya, sekarang memiliki individu purba dari periode waktu yang berbeda. "Kita dapat langsung menunjukkan campuran itu terjadi dalam beberapa gelombang atau terus menerus sejak setidaknya 3.000 tahun yang lalu di seluruh Wallacea," jelas Stoneking.

"Studi di masa depan pada genom yang lebih tua mungkin memperpanjang tanggal ini lebih jauh."

Tim juga mencari kesamaan genetik antara Wallacea purba yang baru dilaporkan dan individu pra-Neolitikum yang diterbitkan sebelumnya dari Sulawesi, pulau lain di Wallacea.

Sementara itu, Cosimo Posth penulis senior yang lainnya mengatakan, bahwa semua individu Wallacean yang diurutkan dalam penelitian ini lebih mirip dengan kelompok New Guinea saat ini daripada populasi lokal sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa kedua wilayah ini terhubung lebih dekat pada zaman kuno daripada yang dibayangkan sebelumnya

"Hasil ini juga mengkonfirmasi bahwa nenek moyang genetik dari pemburu-pengumpul Wallacea sebagian besar telah berganti," kata Posth.

Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di jurnal bergengsi Nature Ecology and Evolution. Publikasi tersebut merupakan jurnal akses terbuka yang dapat diakses daring dengan judul "Ancient genomes from the last three millennia support multiple human dispersals into Wallacea" baru-baru ini.