Invasi Rusia Mengungkap Mitos Keamanan Energi Amerika Serikat

By Ricky Jenihansen, Rabu, 15 Juni 2022 | 10:00 WIB
Analisis baru mengungkapkan bahwa kemandirian energi Amerika Serikat hanya mitos. (Luke Sharret/Bloomberg)

Nationalgeographic.co.id—Analisis baru dari para peneliti di lembaga nirlaba energi RMI dan Duke University menunjukan bahwa keamanan energi Amerika Serikat ternyata hanya mitos. Invasi Rusia telah mengungkap kerentanan tersebut dalam keamanan energi AS, atau ekonomi manufaktur besar lainnya telah benar-benar mandiri energi.

Menurut analisis tersebut, impor minyak dari Rusia telah dilarang, namun secara tidak langsung AS masih membeli minyak mentahnya melalui impor barang dan jasa. Deskripsi lengkap analisis tersebut telah diterbitkan di jurnal Nature Energy dengan judul "The myth of US energy independence" baru-baru ini.

Dijelaskan, AS di dalam negeri memproduksi 75 persen dari pasokan minyak mentahnya dan 90 persen dari pasokan gas alamnya. AS hanya mengimpor sedikit minyak Rusia. Kini, impor minyak memang dilarang sebagai tindakan hukuman terhadap Moskow.

Namun ternyata, AS tetap terikat erat dengan energi Rusia melalui globalisasi. Analisis menunjukan, rantai pasokan di AS masih mengandalkan bahan bakar Rusia untuk memenuhi kebutuhan barang di pasar AS.

Lincoln Pratson, Professor of Energy and Environment at Duke’s Nicholas School of the Environment mengatakan, Rusia memang tidak lagi menjual minyaknya ke AS atau Eropa. "Tetapi (Rusia) masih bisa menjualnya ke ekonomi besar lainnya, seperti India dan Tiongkok, yang digunakan untuk membuat produk yang terus kami impor," kata Pratson dalam rilis Duke University.

"Kami telah mengembargo minyak Rusia, tetapi kami masih secara tidak langsung membeli minyak mentahnya melalui produk-produk ini," kata Pratson.

Situasi ini melemahkan sanksi AS dan membuat pengambil kebijakan AS bingung, katanya. "Jika kita mengimpor produk daripada membuatnya di dalam negeri, itu membebaskan sebagian dari anggaran energi kita untuk digunakan di tempat lain, tetapi pada saat yang sama, produk yang diimpor mengikat keamanan energi kita dengan negara pengekspor, dalam hal ini Rusia," jelas Pratson.

"Pertanyaannya adalah apakah keuntungan dari memproduksi sesuatu yang lain dengan energi itu sebanding dengan peningkatan risiko energi yang ditimbulkan oleh impor,” kata Jun Ukita Shepard, rekan senior untuk analisis dan keterlibatan strategis dan program AS di RMI.

Secara tidak langsung Amerika Serikat masih membeli minyak mentah Rusia. (John Ciccarelli/Bureau of Land Management)

Tindakan kebijakan AS baru-baru ini, seperti sanksi minyak dan penghapusan target status perdagangan yang menguntungkan Rusia, hanya sebagian dari risiko.

"Mereka tidak benar-benar efektif dalam mengatasi risiko yang ditimbulkan oleh energi Rusia yang tidak langsung, atau tertanam, yang terkandung dalam banyak produk yang kami impor dari negara lain."

Analisis baru ini juga mengevaluasi tiga cara AS dapat mengurangi paparannya terhadap risiko ini. Menurut mereka, cara tersebut dapat efektif diterapkan.

Yang pertama adalah pendekatan 'Buy American', di mana kami secara substansial mengurangi permintaan barang dan jasa impor. Ini akan membutuhkan perubahan gaya hidup yang dramatis bagi konsumen AS. Cari ini kemungkinan membatasi potensi efektivitasnya sebagai satu-satunya pendekatan.

Opsi kedua yang terkait adalah pendekatan 'Made in America' yang artinya, AS harus berinvestasi dalam peningkatan produksi komoditas utama dalam negeri. Meski menjanjikan, hal itu juga memiliki kekurangan, karena hampir semua barang produksi dalam negeri bergantung pada impor di suatu tempat di sepanjang rantai pasokan mereka.

"Ini terutama berlaku untuk komoditas utama seperti baterai dan semikonduktor," catat Shepard.

Rusia masih bisa menjual minyaknya ke ekonomi besar lainnya, seperti India dan Tiongkok. Kedua negera itu masih memasok hasil industrinya ke Amerika Serikat. (Kremlin)

Apabila mencapai kemandirian energi menggunakan pendekatan ini, mereka perlu meningkatkan investasi dalam desain produk yang inovatif. Selain itu AS harus menemukan cara untuk hanya menggunakan bahan baku yang bersumber dari dalam negeri. AS harus mengganti baterai lithium-ion, yang memerlukan mineral yang tidak ditambang di AS, dengan baterai natrium-sulfur dari dalam negerinya.

Opsi ketiga, AS dapat menggunakn sendiri atau bersama dengan dua opsi pertama. Mereka bisa mengamankan rantai pasokan AS dengan berinvestasi dalam teknologi energi terbarukan di luar negeri maupun di dalam negeri.

"Ini akan meningkatkan ketahanan energi jangka panjang dari negara-negara yang kita andalkan untuk bahan baku atau komoditas utama," kata Pratson.

   

Baca Juga: Apa Jadinya Masa Depan Stasiun Luar Angkasa Internasional Tanpa Rusia?

Baca Juga: Sanksi Rusia, Masa Depan Stasiun Luar Angkasa Internasional Terancam

Baca Juga: Meja Pingpong yang Mencairkan Suasana Perang Dingin Cina-Amerika

Baca Juga: Samantha Smith, Pencegah Perang Nuklir yang Tewas dalam Kecelakaan

    

"Karena hampir semua negara dapat memproduksi energi terbarukan di dalam negeri. Dan sementara teknologi energi bersih memerlukan investasi di awal, produksi energi mereka tidak tunduk pada jenis volatilitas rantai pasokan ekstrem yang terkadang terlihat di pasar minyak dan gas, seperti yang dipicu oleh perang di Ukraina."

"Lebih dari 100 negara memiliki ekonomi manufaktur utama tetapi hanya segelintir negara, termasuk Rusia, yang memproduksi dan mengekspor sebagian besar energi yang menggerakkan ekonomi ini,” kata Pratson.

Untuk mencapai kemandirian energi AS dalam konteks yang sangat mengglobal, kita perlu melihat melampaui batas negara.

"Cara paling aman dan efisien secara ekonomi untuk memastikan kemandirian energi AS adalah dengan mendukung kemampuan domestik dari rantai pasokan yang kami andalkan," kata Shepard. "Sederhananya, mencapai keamanan energi AS membutuhkan semua negara."