Selidik Zaman Klasik: Kehidupan Multikulturalisme di Majapahit

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 16 Juni 2022 | 13:03 WIB
Litografi reruntuhan Candi Menak Jingga, Majapahit, karya Auguste van Weissenbruch, 1852. Berkat kerajaan adikuasa masa klasik, kita bisa mendapatkan teladan multikulturalisme, menghargai hidup rukun bersama beragam budaya dan agama. (KITLV)

    

Raja-raja di Majapahit, khususnya Rajasanagara, mempunyai kebijakan untuk mengatur kehidupan multiagama. Dalam sebuah peraturan dipaparkan tujuan kebijakan tersebut adalah saling menghargai antaragama, mencegah konflik sosial-agama atau manajemen konflik, dan menunjukkan sifat toleransi yang menghargai perbedaan.

Maraknya perseteruan antarbudaya dan antaragama atau antarkeyakinan akhir-akhir ini tampaknya membuat kita berpikir dan menengok kembali ke masa lalu. Pemahaman keragaman budaya membantu kita memaknai perbedaan dan sanggup berhubungan lintas batas. Apakah kita lupa karena dilenakan zaman, bahwa  leluhur kita telah meneladankan kearifan hidup dalam keberagaman? “Dengan contoh-contoh kesejarahan, kita dapat mengingatkan jatidiri bangsa,” tulis Hariani dalam sebuah catatannya.

National Geographic Indonesia edisi September 2012 menyelisik keindahan dan kearifan Ibu Kota Majapahit dalam kisah “Metropolitan yang Hilang.” Dalam edisi ini tersisip pula bonus peta dua sisi yang menampilkan sisi panorama kota agung itu dengan jaringan kanalnya dan rekonstruksi permukiman berdasar penelitian arkeologi. Tak hanya itu, kisah ini juga mengungkap makna "Nusantara" dan skandal ilmiah dalam penyusunan sejarah Majapahit.

—Artikel ini pernah tayang pada 30 Agustus 2012