"Agoesdjam akhirnya dipanggil Keibeitai-oho (Satuan Polisi Militer Jepang) karena didakwa ikut dalam gerakan subversif melawan pemerintahan Dai Nippon," imbuh Simon.
Baca Juga: Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik
Baca Juga: Marie Thomas dan Anna Warouw, Si 'Kembar' Pelopor Dokter Perempuan di Indonesia
Baca Juga: Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda
Baca Juga: Abdoel Rivai, Anggota Pergerakan Nasional Penting yang Terlupakan
Pemanggilan terhadapnya oleh Polisi Militer Jepang tak berbekas. Agoesdjam setelahnya tidak pernah lagi kembali ke rumahnya. Tak lagi juga nampak batang hidungnya.
Dalam catatan Simon, ada kemungkinan bahwa Agoesdjam ikut dibunuh dalam serangkaian pembantaian oleh tentara Jepang di kawasan Mandor, Sungai Durian, Pontianak dan Ketapang.
Pembantaian dan pembunuhan besar-besaran tentara Jepang terjadi pada 28 Juni 1944. Targetnya diantaranya merupakan aktivis pergerakan dari kalangan dokter, guru, jurnalis, cendekiawan hingga para pengusaha.
Simon juga mengungkap, bahwa kepergian Soeharso (menantunya) ke Surakarta adalah bagian dari pelariannya karena telah dicurigai oleh Jepang, sehingga ia mendapat perlindungan dari RS Jebres di Surakarta.