Memunculkan Kembali Agoesdjam: Dokter Pribumi yang Terlupakan

By Galih Pranata, Jumat, 17 Juni 2022 | 13:00 WIB
Agoesdjam merupakan lulusan STOVIA yang tercatat sebagai tokoh Kebangkitan Nasional. Pergumulan Agoesdjam bersama tokoh-tokoh kemerdekaan, membuat pergerakannya mulai dicurigai oleh Pemerintah Jepang di Ketapang. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.idDokter Agoesdjam (Mas Agusjam) mungkin tak setenar nama pahlawan lainnya. Namun, namanya akrab bagi masyarakat Ketapang, Kalimantan Barat.

Tak mengherankan, jika namanya disematkan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Ketapang dengan nama RSUD dr Agoesdjam. Dalam catatan sejarah, ia merupakan kerabat dekat Soetomo (pendiri Boedi Oetomo).

"Pada tahun 1903, ia bersama 16 temannya masuk ke sekolah kedokteran STOVIA," tulis Simon Yosonegoro Liem dalam bab pada sebuah buku berjudul Mozaik Sejarah Lokal Nusantara: Kumpulan Naskah Sejarah Populer terbitan 2021.

Menariknya, diantara 16 teman seangkatannya, terdapat 5 rekannya yang menjadi tokoh pendiri Boedi Oetomo. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya: dr. Sutomo (Raden Soetomo), dr. Suraji (Soeradji), dr. Gunawan Mangunkusumo (Mas Gunawan Mangoenkoesoemo), dr. Moh Saleh (Mas Mohamad Salech), dan dr. Sulaiman (Mas Soelaiman).

Seperti terlahir dalam DNA perjuangan, Agoesdjam juga mengambil peran besar dalam perjuangan bangsanya. Selama tinggal di asrama STOVIA bersama dengan rekan-rekan perjuangannya, ia kerap bertukar pandangan, membicarakan tentang nasionalisme dari nasib bangsanya.

Saat lulus dari STOVIA, Agoesdjam mengabdikan dirinya ke berbagai pelosok tanah air. Pria bangsawan kelahiran Madiun itu pernah mengabdikan diri ke Pontianak, Singkawang, Sambas, dan perkampungan Dayak di pedalaman di Kalimantan Barat.

Setelah memiliki menantu (dr. Soeharso), ia menggantikan posisi mantunya yang bertolak ke Surakarta. Pada 1943, Agoesdjam akhirnya berangkat ke Ketapang untuk menggantikan posisi Soeharso itu.

Pengorbanan dan perjuangannya ia abdikan pada dunia medis. Melewati hutan dan rawa di Kalimantan Barat, ia mengobati pasien-pasien pribumi, sekalipun jalan yang ditempuh teramat sulit dan beresiko.

"Ia melayani pasiennya dengan ramah dan tanpa memandang status sosial maupun suku bangsa," ungkap Simon dalam bukunya.

Nama Mas Agoesdjam tercatat dalam daftar nama Tokoh Kebangkitan Nasional di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. (Simon Yosonegoro Liem/Mozaik Sejarah Lokal Nusantara )

Bukan hal yang mudah bagi Agoesdjam bekerja di pedalaman Kalimantan. Kendala bahasa juga kerap kali ia alami. Maklum, ia hanya mampu berbahasa Indonesia dan Jawa, sedang pasiennya berasal dari pedalaman Kalimantan yang notabenenya merupakan suku Dayak.

Pergumulannya bersama tokoh-tokoh kemerdekaan, membuat pergerakannya mulai dicurigai oleh Pemerintah Jepang yang kala itu berkedudukan di Ketapang.

"Agoesdjam akhirnya dipanggil Keibeitai-oho (Satuan Polisi Militer Jepang) karena didakwa ikut dalam gerakan subversif melawan pemerintahan Dai Nippon," imbuh Simon.

        

Baca Juga: Dukun: Pentolan Medis yang Kini Dianggap Sekadar Praktik Klenik

Baca Juga: Marie Thomas dan Anna Warouw, Si 'Kembar' Pelopor Dokter Perempuan di Indonesia

Baca Juga: Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda

Baca Juga: Abdoel Rivai, Anggota Pergerakan Nasional Penting yang Terlupakan

       

Pemanggilan terhadapnya oleh Polisi Militer Jepang tak berbekas. Agoesdjam setelahnya tidak pernah lagi kembali ke rumahnya. Tak lagi juga nampak batang hidungnya.

Dalam catatan Simon, ada kemungkinan bahwa Agoesdjam ikut dibunuh dalam serangkaian pembantaian oleh tentara Jepang di kawasan Mandor, Sungai Durian, Pontianak dan Ketapang.

Pembantaian dan pembunuhan besar-besaran tentara Jepang terjadi pada 28 Juni 1944. Targetnya diantaranya merupakan aktivis pergerakan dari kalangan dokter, guru, jurnalis, cendekiawan hingga para pengusaha.

Simon juga mengungkap, bahwa kepergian Soeharso (menantunya) ke Surakarta adalah bagian dari pelariannya karena telah dicurigai oleh Jepang, sehingga ia mendapat perlindungan dari RS Jebres di Surakarta.