Nationalgeographic.co.id—Sejak awal Mei 2022, tubuh mungil ratusan penguin ditemukan tidak bernyawa di pantai paling utara Selandia Baru. Pada awalnya, kematian mereka menjadi misteri. Namun para peneliti sekarang memahami mengapa kororā, atau penguin biru kecil, sekarat.
Kororā adalah penguin terkecil di dunia. Berasal dari Selandia Baru, burung-burung ini mudah dikenali di air dan di teluk yang terlindung. Mereka biasanya hanya datang ke pantai pada malam hari untuk mengunjungi sarang mereka. Kororā membuat sarang di liang bawah tanah dan di antara bebatuan.
Selama musim kawin di bulan Mei dan Juni, suara penguin kecil yang berisik dapat terdengar di sekitar senja. Selain ikan sekawanan kecil, kororā juga memakan cumi-cumi dan krustasea kecil jika mereka bisa mendapatkannya.
Jumlah kororā menurun dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Jika sebelumnya mudah ditemukan di daratan Selandia Baru, kini kororā banyak ditemukan di pulau-pulau terpencil. Di tempat itu, mereka hanya menghadapi gangguan yang minimal.
Pemerintah Selandia Baru mengklasifikasikan kororā sebagai ‘Beresiko Menurun’. Selangkah lagi, mereka akan berada pada berada pada tahap ‘Terancam’ lalu ‘ Kepunahan’. Ancaman utama bagi kororā adalah anjing, kucing, musang, cerpelai, kendaraan, perahu dan jaring laut.
Kematian misterius kororā
Perubahan iklim kemungkinan bertanggung jawab atas kematian lebih dari 500 penguin terkecil di dunia ini. Seiring berjalannya waktu, jumlah penguin yang sekarat terus meningkat. Namun apa hubungan perubahan iklim dengan kelangsungan hidup kororā? Saat suhu air naik, ikan kecil yang menjadi makanannya berenang lebih dalam. Ikan-ikan ini mencari perairan yang lebih dingin. Otomatis, kororā pun kehilangan makanan utamanya.
Kororā adalah penyelam yang terampil. Nama genus mereka Eudyptula berarti penyelam kecil yang baik. Namun, mereka hanya dapat menyelam sekitar 20-30 meter di bawah permukaan Pasifik. Jadi perairan dangkal paling cocok untuk kororā.
Kesulitan menjangkau makanan, penguin kehilangan berat badan. Pada akhirnya, sebagian dari mereka mati kelaparan. Hipotermia karena mereka tidak memiliki cukup lemak untuk tetap hangat juga menjadi salah satu penyebabnya.
“Mereka tinggal kulit dan tulang,” Graeme Taylor, ilmuwan burung laut di Departemen Konservasi Selandia Baru. “Kororā tidak memiliki lemak tersisa di tubuh. Burung ini membutuhkan isolasi lapisan lemak agar tetap hangat. Selain itu, mereka juga tidak memiliki banyak jaringan otot."
Ilmuwan Selandia Baru pada awalnya menduga bahwa burung-burung itu mungkin mati karena terpapar racun di lingkungan. Mereka juga mengira ada penyakit misterius yang menjangkiti penguin-penguin di Selandia Baru. Nekropsi (autopsi) pada penguin kecil pun dilakukan. Akhirnya diketahui bahwa penguin-penguin yang mati itu kehilangan setengah dari berat badan normalnya.
"Ketika kehilangan setengah berat badannya, mereka tidak bisa menyelam," kata Taylor.