Akulturasi Indonesia-Tionghoa: Jejak Budaya Antarbangsa yang Lestari

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 24 Juni 2022 | 07:00 WIB
Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon memiliki unsur peninggalan hubungan Kesultanan Cirebon dengan Tiongkok. Hubungan antarnegara itu menciptakan akulturasi budaya. (Cahyo Ramadhani/Wikimedia)

Nationalgeographic.co.id—Karena posisinya yang strategis untuk hubungan internasional, Nusantara punya dipengaruhi dari kebudayaan lain, termasuk dari Tionghoa. Pengaruh itu masih berjejak, bercampur dengan budaya Nusantara, menjadi hal-hal yang selama ini kita kenal secara umum. Akulturasi itu mulai dari bangunan, makanan, hingga bahasa.

“Tidak ada budaya yang berdiri tunggal, saya meyakinkan itu. Karena budaya itu ada interaksi, take and give,” kata Udaya Halim, budayawan Tionghoa dan pendiri Museum Benteng Heritage. Dia menjelaskannya di CPAS Online Public Talkshow Episode #3 - Akulturasi dalam Memori Kolektif Bangsa Indonesia yang diselenggarakan Center for Prehistory and Austronesian Studies (CPAS), Rabu, 22 Juni 2022.

Akulturasi bangunan dengan kebudayaan Tionghoa di Nusantara beragam. Jenis awalnya adalah pada penggabungan elemen antara bangunan khas Nusantara, ditambah dengan pernak-pernik khas Tionghoa.

Pada makam Sunan Gunung Jati di Cirebon misalnya. Makamnya dipenuhi dengan keramik dari berbagai dinasti Tiongkok, seperti Song dan Ming. Fenomena serupa ditemukan pula di Mesjid Merah Panjunan yang didirikan 1480. 

Pengaruh Tionghoa di Cirebon cukup besar, mengingat di masa lalu Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan yang punya hubungan internasional yang kuat. Bahkan istri Sunan Gunung Jati, Ong Tien Nio adalah seorang Tionghoa dari Champa (Vietnam-Kamboja kini).

Selain menggabungkan bahan, akulturasi juga muncul secara arsitektur. Masjid pertama Kesultanan Banten yang dibangun Syarif Hidayatullah (1522-1570) misalnya.

"Itu ketika masjid di Banten didirikan, itu disebutnya masjid Cina, masjid Pecinan," kata Udaya. Dia menyebut Masjid Agung Banten di Banten juga didirikan oleh insinyur bernama Tjek Ban Tjun.

Kesultanan Banten diketahui kehidupan sosialnya sangat multikultural dan multietnis, sebab lokasinya yang strategis sebagai bandar dagang. Tidak hanya pada masyarakatnya, Udaya menyebutkan, jajaran pemerintahnya juga diisi oleh etnis lain, termasuk Tionghoa.

Lukisan Masjid Agung Banten. (Wikimedia Commons)

Dia mendapati laporan bahwa di Kopenhagen, Mentri Perdagangan Banten Cakradana pernah menyurati Raja Denmark untuk mengambil lada yang dipesan pada 1671 dan 1672. Cakradana diketahui ternyata seorang Tionghoa bernama Tan Che Ko.

"Yang namanya pedagang pikul-pikul dulunya banyak dirintis oleh orang Tionghoa," Udaya menjelaskan. Masyarakat Tionghoa mengenalkan beberapa jenis teknologi jenis anyaman dan sajian yang diperdagangkan.

Istilah-istilah yang digunakan pun meresap dalam bahasa Indonesia yang kita kenal kini. Misalnya kuli, kemoceng, pengki, kue, soto, kuah, kuali, cincau, sate, dan masih banyak lagi.