Dampak Perubahan Iklim: Es Arktika Mencair, Rute Pelayaran Berubah

By Wawan Setiawan, Minggu, 26 Juni 2022 | 15:00 WIB
Mencairnya es di Samudra Arktik dapat menghasilkan rute perdagangan baru di perairan internasional, menurut sebuah studi. (Brown University)

Nationalgeographic.co.id - Dengan perubahan iklim yang sangat cepat memanaskan lautan di dunia, masa depan Samudra Arktika terlihat suram. Model iklim menunjukkan bahwa bagian Kutub Utara yang pernah tertutup es sepanjang tahun ini memanas begitu cepat sehingga mereka akan bebas es selama berbulan-bulan hanya dalam dua dekade saja.

Iklim Arktika yang berubah akan membahayakan spesies yang tak terhitung jumlahnya yang tumbuh subur di suhu di bawah nol derajat, kata para ilmuwan.

Konsekuensi kritis lain dari mencairnya es di Kutub Utara adalah potensi rute perdagangan maritim yang lebih pendek dan lebih ramah lingkungan yang melewati Rute Laut Utara yang dikuasai Rusia.

Dalam sebuah studi baru, sepasang ilmuwan iklim di Brown University bekerja dengan seorang sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Maine berusaha memprediksi bagaimana pencairan es Samudra Arktika dapat memengaruhi regulasi rute pelayaran selama beberapa dekade mendatang. Mereka memproyeksikan bahwa pada tahun 2065, kemampuan navigasi Arktika akan meningkat pesat sehingga dapat menghasilkan rute perdagangan baru di perairan internasional. Ini tidak hanya mengurangi jejak karbon industri perkapalan tetapi juga melemahkan kontrol Rusia atas perdagangan di Arktika.

Hasil studi ini telah diterbitkan pada 21 Juni 2022 di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences dengan menyertakan judul "The interaction of ice and law in Arctic marine accessibility".

"Tidak ada skenario di mana pencairan es di Kutub Utara adalah kabar baik," kata Amanda Lynch, penulis utama studi tersebut dan profesor ilmu Bumi, lingkungan, dan planet di Brown. "Tetapi kenyataan yang tidak menguntungkan adalah bahwa es sudah surut, rute-rute ini terbuka, dan kita perlu mulai berpikir kritis tentang implikasi hukum, lingkungan, dan geopolitik," imbuhnya.

Lynch, yang telah mempelajari perubahan iklim di Kutub Utara selama hampir 30 tahun, mengatakan bahwa sebagai langkah pertama, dia bekerja dengan Xueke Li, rekan penelitian pascadoktoral di Institut di Brown for Environment and Society, untuk memodelkan empat skenario navigasi berdasarkan empat kemungkinan hasil dari tindakan global untuk menghentikan perubahan iklim di tahun-tahun mendatang.

Salah satu konsekuensi penting dari mencairnya es di Kutub Utara: potensi rute perdagangan maritim yang lebih pendek dan lebih ramah lingkungan yang melewati Rute Laut Utara yang dikuasai Rusia, ditunjukkan di sini dengan warna hijau. (Brown University)

Proyeksi mereka menunjukkan bahwa kecuali para pemimpin global berhasil membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius selama 43 tahun ke depan, maka perubahan iklim kemungkinan akan membuka beberapa rute baru melalui perairan internasional pada pertengahan abad ini.

Menurut Charles Norchi, direktur Center for Oceans and Coastal Law di Maine Law, seorang peneliti tamu di Brown's Watson Institute for International and Public Affairs, dan salah satu rekan penulis studi tersebut, mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat memiliki implikasi besar bagi perdagangan dunia dan politik global.

Norchi menjelaskan bahwa sejak 1982, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut telah memberi negara-negara pesisir Arktika otoritas yang lebih besar atas rute pelayaran utama. Pasal 234 konvensi menyatakan bahwa atas nama "pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut dari kapal", negara-negara yang garis pantainya berada di dekat rute pelayaran Arktika memiliki kemampuan untuk mengatur lalu lintas laut rute tersebut, selama daerah tersebut tetap tertutup es untuk sebagian besar tahun.

 Baca Juga: Kapal Pengiriman Barang Jadi Alasan Turunnya Populasi Hiu Paus Dunia