Nationalgeographic.co.id - Perubahan iklim memberikan tekanan besar pada sumber daya air global, dan menurut para peneliti, Dataran Tinggi Tibet menderita ketidakseimbangan air yang begitu ekstrem sehingga dapat menyebabkan peningkatan konflik internasional.
Dijuluki sebagai "Kutub Ketiga", Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya yang berdekatan adalah rumah bagi penyimpanan air beku global terbesar di luar Wilayah Kutub Utara dan Selatan. Wilayah ini, juga dikenal sebagai menara air Asia (Asian Water Tower, AWT), yang memiliki fungsi sebagai sistem distribusi air kompleks yang menyalurkan cairan pemberi kehidupan ke banyak negara, termasuk bagian dari Tiongkok, India, Nepal, Pakistan, Afganistan, Tajikistan, dan Kirgistan.
Namun karena pencairan salju yang cepat dan gletser hulu, daerah tersebut tidak dapat secara berkelanjutan mendukung pertumbuhan berkelanjutan negara-negara berkembang yang bergantung padanya.
"Populasi tumbuh begitu cepat, dan begitu juga permintaan air," kata Lonnie Thompson, profesor universitas terkemuka ilmu bumi di The Ohio State University dan ilmuwan peneliti senior di Byrd Polar Research Center. "Masalah-masalah ini dapat menyebabkan peningkatan risiko perselisihan internasional bahkan intranasional, dan di masa lalu mereka pernah melakukannya."
Thompson, yang telah mempelajari perubahan iklim selama hampir lima dekade, sangat akrab dengan sifat genting situasi hidrologi di kawasan itu. Pada tahun 1984, Thompson menjadi anggota tim Barat pertama yang dikirim untuk menyelidiki gletser di Tiongkok dan Tibet. Sejak itu, dia dan tim rekan internasionalnya telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyelidiki catatan iklim yang berasal dari inti es dan es yang menyusut dengan cepat di daerah itu bersama dengan dampaknya terhadap pemukiman lokal yang bergantung pada AWT untuk kebutuhan air tawar mereka.
Makalah terbaru tim, di mana Thompson adalah salah satu penulisnya, telah diterbitkan dalam jurnal Nature Review Earth and Environment pada 7 Juni 2022 dengan judul "The imbalance of the Asian water tower". Menggunakan data perubahan suhu dari 1980 hingga 2018 untuk melacak pemanasan regional, temuan mereka mengungkapkan bahwa suhu keseluruhan AWT telah meningkat sekitar 0,42 derajat Celcius per dekade, sekitar dua kali lipat dari rata-rata global.
"Ini memiliki implikasi besar bagi gletser, terutama di Himalaya," kata Thompson. "Secara keseluruhan, kita kehilangan air dari dataran tinggi, sekitar 50% lebih banyak air daripada yang kita peroleh." Kelangkaan ini menyebabkan ketidakseimbangan air yang mengkhawatirkan, yaitu bagian utara Tibet sering mengalami sumber daya air yang melimpah karena lebih banyak curah hujan terjadi akibat menguatnya angin barat, sementara cekungan sungai selatan dan persediaan air menyusut karena kekeringan dan kenaikan suhu berkontribusi pada hilangnya air di hilir.
Menurut penelitian tersebut, karena banyak masyarakat rentan berbatasan dengan cekungan hilir ini, maka kesenjangan yang memburuk ini dapat meningkatkan konflik atau memperburuk situasi yang sudah tegang antara negara-negara yang berbagi daerah aliran sungai ini, seperti irigasi jangka panjang dan perebutan air antara India dan Pakistan.
Baca Juga: Jumlahnya Makin Berkurang, Komunitas Ini Ciptakan Gletser Buatan
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Tanaman di Inggris Raya Berbunga Lebih Cepat
Baca Juga: Virus Kuno 15.000 Tahun Diidentifikasi di Gletser Tibet yang Mencair
Rahasia Mengontrol Populasi Nyamuk: Aedes aegypti Jantan Tuli Tidak Bisa Kawin!
Source | : | Ohio State News |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR