Pemadaman Tak Cukup, Kebakaran Lahan Gambut Harus Dicegah Banyak Pihak

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 Juni 2022 | 10:00 WIB
Kebakaran hutan membutuhkan biaya yang tinggi untuk dipadamkan. Pencegahannya akan lebih mudah jika banyak pihak bergotong royong. (Saeed Khan/AFP)

Nationalgeographic.co.id—Lahan gambut punya kandungan bahan organik tinggi untuk bisa dimanfaatkan pertanian. Ketika basah dan punya vegetasi hutan alami, lahan gambut bisa menyerap karbon dioksida dari atmosfer untuk membantu mendinginkan suhu planet kita.

Akan tetapi, di Indonesia posisinya sangat berisiko untuk terbakar untuk pembukaan lahan pertanian atau kecelakaan api. Kebakaran hutan dan lahan gambut justru melepaskan emisi karbon yang sangat cepat. Terlebih, jika kebakaran kering sehingga rawan terbakar.

"Kebakaran hutan sulit dipadamkan. Apa lagi kalau pakai helikopter [pemadam kebakaran] yang [baling-balingnya] membuat api jadi luas," kata H. Husin, Sekda Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Dia menuturkan dalam diskusi media terkait penguatan kolaborasi pencegahan dan penanggulangan karhutla di Jakarta, Senin 27 Juni 2022.

Kabupaten OKI tidak sendiri. Beberapa kabupaten juga punya permasalahan terkait permasalahan kebakaran hutan dan pemadamannya, seperti Kabupaten Pelalawan di Riau dan Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah.

Secara dana, pihak pemerintah kabupaten sangat sulit untuk memberikan uang untuk pemadaman karena anggarannya sedikit. Hanya ada sedikit upaya pemerintah untuk pencegahan kebakaran hutan, bahkan tidak ada alokasi dana untuk hal tersebut.

Upaya pencegahan bukan berarti tidak ada. Selama ini masyarakat sudah bergotong royong untuk mencegah karthutla. Misalnya, di Kabupaten Pelalawan, Riau, masyarakat membuat embung sebagai pasokan air antisipasi kebakaran. 

Maka dari itu, tindakan pencegahan dilakukan. Kegiatan itu difasilitasi oleh organisasi multipihak Kemitraan didukung USAID dan United Nation Environmental Programme (UNEP) untuk menguatkan banyak pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla.

Program itu adalah Strengthening Indonesian Capacity for Anticipatory Peat Fire Management (SIAP-IFM). Program ini juga dilakukan bersama Kishugu dari Afrika Selatan dan Center for Cilmate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia-Pacific Institut Pertanian Bogor (CCROM-IPB).

Diskusi media SIAP IFM di Jakarta. Dari kiri-kananL Laode M. Syarif (direktur eksekutif Kemitraan), H. Husin (Sekda OKI), Harlan Hale (Regional Humanitarian Avisor USAID), Tony Harsinta (Sekda Pulang Pisau), Johan Kieft (Senior Regional Advisor Asia-Pacific on Green Economy UNEP), Gerhard (Kishugu) dan Hasbi Berliani (Kemitraan). (@sahL/Kemitraan.)

Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M. Syarif menjelaskan, tindakan pencegahan kebakaran hutan di setiap kabupaten dilakukan dengan pendekatan klaster. Pasalnya, setiap daerah dan lahan tertentu punya keragaman sendiri sehingga penerapannya berbeda.

"Pendekatan klaster merupakan kegiatan pencegahan kebakaran yang bersifat kolaboratif dan melibatkan semua pihak, seperti pemerintah daerah, Manggala Agni, TNI, kepolisian, perusahaan swasta, dan kecamatan, serta desa," tuturnya.

"Pendekatan ini diharapkan dapat mengubah paradigma penanganan karhutla dari upaya pemadaman api kepada upaya pencegahan kebakaran. Strategi pencegahan dengan kolaborasi semua pihak sangat dibutuhkan karena kebakaran di lahan gambut sulit dipadamkan."