Nationalgeographic.co.id—Sejak dulu penduduk asli Borneo atau Kalimantan tahu ada sebuah pohon yang sebenarnya merupakan dua spesies berbeda. Hasil sebuah analisis genetik teranyar baru-baru ini menegaskan bahwa ternyata mereka memang benar.
Lebih dari 200 tahun yang lalu, seorang ahli botani Spanyol mendeskripsikan Artocarpus odoratissimus, spesies pohon penghasil buah yang ditemukan di Kalimantan dan Filipina. Buah ini dikenal oleh orang-orang Kalimantan di Indonesia sebagai terap atau tarap.
Orang-orang Mindanao di Filipina menyebutnya sebagai marang. Orang-orang Sabah di Malaysia menyebutnya sebagai lumok. Orang-orang Sarawak di Malaysia menyebutnya sebagai timadang. Adapun orang-orang Inggris menyebutnya sebagai johey oak.
Terap atau tarap adalah sejenis pohon buah dari marga pohon nangka (Artocarpus). Buahnya serupa nangka yang kecil, dengan bau wangi yang kuat, seperti dicerminkan oleh nama ilmiahnya: Artocarpus odoratissimus.
Masyarakat Iban yang merupakan penduduk asli Kalimantan mengenal pohon ini memiliki dua jenis yang berbeda. Mereka menyebutnya sebagai lumok dan pingan.
Orang-orang suku Dayak Iban dapat membedakan pohon-pohon ini dari ukuran dan bentuk buahnya. Mengabaikan pengetahuan pendudukan asli Borneo atau Kalimantan ini, para ahli botani Barat telah lama menganggap pohon itu sebagai spesies tunggal.
Namun laporan hasil analisis genetik teranya, yang baru diterbitkan pada 6 Juni 2022 di jurnal Current Biology, menegaskan bahwa ternyata orang-orang Iban selama ini benar.
Untuk menentukan taksonomi yang benar dari pohon itu, yang berada dalam genus yang sama dengan pohon yang menghasilkan nangka gemuk, para ilmuwan mengambil sampel DNA dari pohon-pohon di Borneo Malaysia dan dari spesimen-spesies herbarium sejarah.
Mereka menggunakan analisis filogenetik dan mikrosatelit DNA untuk menunjukkan bahwa meskipun lumok dan pingan berkerabat dekat, kedua pohon itu adalah spesies yang berbeda secara genetik.
Baca Juga: Pergeseran Budaya Tenun Ikat Dayak Iban
Baca Juga: Hutan Suci Dayak Ngaju: Pesan Pelestarian Alam Berbasis Kearifan
Baca Juga: Carl Bock, Peneliti Eropa Pertama yang Menepis Stigma Suku Dayak
Para ilmuwan merekomendasikan agar pohon-pohon itu diganti namanya untuk mencerminkan hal ini. Mereka juga menyarankan bahwa sudah waktunya untuk mempertimbangkan memasukkan nama-nama Pribumi ke dalam penelitian taksonomi.
"Meski upaya ilmiah telah lama mendapat manfaat dari pengetahuan Pribumi, biasanya tidak terlibat dengan itu pada pijakan yang sama," tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut, seperti dilansir EurekAlert!.
Para peneliti dalam studi tersebut mencakup para ilmuwan Malaysia dan para ahli botani lapangan Iban, yang dipimpin oleh Elliot M. Gardner (@elliotmgardner), seorang ahli botani di Florida International University.
"Waktu sangat penting, karena sama seperti keanekaragaman hayati yang berada di bawah ancaman perubahan iklim, pengetahuan Pribumi —yang dilindungi oleh Pasal 8(j) Konvensi Keanekaragaman Hayati— terancam oleh perubahan masyarakat," kata Gardner dan rekan-rekannya.