Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji

By Galih Pranata, Rabu, 29 Juni 2022 | 15:00 WIB
Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Nationalgeographic.co.idPada masa VOC memulai usaha dagangnya di Jawa, agama Islam telah tumbuh subur dalam masyarakat baik di wilayah pesisir maupun pedalaman Jawa.

"Hal ini disebabkan telah adanya hubungan dan interaksi yang kuat dan intens pada abad sebelumnya dengan wilayah Arab," tulis Asyhadi Mufsi Sadzali dalam jurnal Tsaqofah dan Tarikh Jurnal Kebudayaan dan Sejarah Islam.

Ia menulis sebuah jurnal yang berjudul Kelas Haji Kelas Sosial: Sejarah Haji dari Zaman Kolonial Hingga Kini Ditinjau dari Kajian Kritis Kapitalisme dan terbit pada tahun 2018.

Begitupun dengan ritual ibadah haji yang sudah menjadi budaya bangsawan Islam di Jawa, pemerintah kolonial—saat berdirinya Hindia Belanda—tak menutup mata.

Asyhadi menulis bahwa "campur tangan pihak kolonial dalam hal urusan ibadah haji, bermula dengan alasan ketakutan dan kecurigaan terhadap para haji yang baru pulang dari tanah suci." 

Terdapat kecurigaan bahwa masyarakat muslim dari kalangan bangsawan Jawa yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, akan membawa pemikiran baru dalam pergerakan Islam untuk menentang eksistensi pemerintah kolonial.

"Di sisi lain, ternyata pihak kolonial juga melihat adanya keuntungan ekonomi yang sangat besar, apabila melakukan monopoli utuh terhadap prosesi ibadah haji," terusnya.

Guna menutupi modus kapitalisme dan monopoli politik tersebut, pemerintah kolonial menciptakan sebuah kesadaran palsu. Mereka menciptakan kecurigaan bahwa "Islam itu berbahaya" dan memanfaatkan isu internasional pada masa itu tentang gerakan pan islamisme.

Mengawali usaha monopoli ibadah haji tersebut, pemerintah menerbitkan sebuah putusan terkait prosesi ibadah haji dengan Resolusi (putusan) 1825. Rosolusi 1825 berkenaan dengan ONH (ongkos naik haji) yang ditentukan oleh pihak kolonial sebanyak f.110 (gulden).

Masjidil Haram dibanjiri cahaya kala senja yang menandakan akhir waktu berpuasa. Tempat ini disesaki jemaah haji dari penjuru Bumi. (Amer Hilabi. AFP/Getty Images)

Biaya sebesar itu tidak termasuk dengan "paspor (surat jalan dari penguasa setempat), biaya hidup, ongkos pulang dan dikenakan wajib lapor kepada pemerintah setempat sepulangnya ke tanah air," lanjut Asyhadi.

Pemerintah kolonial faham betul dengan kekuatan doktrin agama dan juga fanatisme umat Islam di Nusantara, sehingga meraka sangat yakin walaupun telah dikeluarkan Resolusi 1825, intensitas dan jumlah jamaah haji tetap akan melimpah dan terus bertambah.