Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji

By Galih Pranata, Rabu, 29 Juni 2022 | 15:00 WIB
Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. (Samuel M. Swemer/National Geographic Creative)

Di balik itu, para agen-agen kapitalis memainkan peranannya di lapangan dengan menciptakan kesadaran palsu dalam pola pikir masyarakat Islam. Mereka meciptakan stereotip baru dalam kelas sosial masyarakat bahwa haji adalah gelar suci yang terhormat yang harus disanjung dan ditempatkan dalam tatanan sosial teratas masyarakat Islam.

   

Baca Juga: Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau

 Baca Juga: Cerita Para Jamaah Haji Perempuan Menyusuri Jalur Rempah ke Kota Suci

 Baca Juga: Koin-Koin Arab Kuno Ungkap Aksi Keji Perompak Kapal Rombongan Haji

 Baca Juga: Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?

    

Munculnya pandangan tersebut, mendorong melesatnya antusiasme para jamaah haji. "Biaya yang diperlukan untuk menunaikan ibadah haji sekali jalan bervariatif, namun secara umum diketahui bahwa harga tiket standar f.110 (gulden) ditambah dengan jasa perusahaan dan syekh f.17,5 (gulden).

Jika dijumlah, maka total ongkos transportasi yang dikeluarkan sebesar f.127,5 (gulden). "Namun, secara keseluruhan pemerintah Belanda meminta setiap calon jamaah harus menyetor f.500 (gulden),” imbuhnya.

Memasuki musim haji 1927-1928, jamaah yang berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah berjumlah 33.965 orang: 10.970 orang berangkat dengan perusahaan Rotterdamsche Lloyd, 9.467 orang menggunakan perusahaan Nederlandsche Lloyd, dan  10.634 orang lewat perusahaan Ocean.

"Bisa dibayangkan keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial dimusim haji, bila total penumpang dari delapan pelabuhan dalam satu keberangkatan mencapai ribuan orang," pungkasnya.