Skateboarding: Rahasia di Balik Papan Luncur Jadi Budaya Anak Muda

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 1 Juli 2022 | 09:00 WIB
Seorang anak muda beraksi di atas papan luncur atau skateboarding. Ada kisah bagaimana olahraga ekstrem ini bisa sepopuler sekarang. (PxHere)

Nationalgeographic.co.id—Saya bukan pemain skateboard andal. Tidak semua trik dikuasai di atas papan kecil beroda empat. Kecintaan saya bermain olahraga ekstrem itu muncul sejak kanak-kanak, ketika saya sering bermain gim video dan menonton televisi tentang papan luncur.

Seiring waktu, setiap kali bermain di jalan atau taman skate (skatepark) di Tangerang dan Jakarta, ada beberapa hal yang menarik bagi saya.

Yakni, para pemain papan luncur (skateboarder) tidak segan bertegur sapa padahal olahraga individualis seperti ini terkesan menyombongkan kemampuan. Tidak kalah menarik, para pemain papan luncur juga sering membantu pemain lain saat terjatuh meski tidak saling kenal, atau sekadar mencegah papan pemain lain tertabrak keras benda sekitar.

Apa yang membuat papan luncur, sebagai olahraga ekstrem individu, bisa memiliki rasa kebersamaan? Mari kita tengok dari sejarah kemunculannya.

Mulanya, papan luncur mulai dikenal pada 1959. Saat itu masih buatan sendiri dengan roda sepatu roda tua (skate) yang ditempelkan pada papan. Setahun kemudian, muncullah produsen papan luncur yang memanfaatkan popularitas selancar. Inilah yang kemudian membuat papan luncur dikenal sebagai "selancar trotoar", karena seseorang bisa berselancar tanpa harus ke laut dan memburu ombak.

Taman skate pertama ada di Arizona yang berdiri pada 3 September 1965 dengan nama Surf City. Rintangannya terdiri dengan lereng miring, lereng ombak, dan rel. Wahana ini tidak hanya dinikmati dengan papan luncur, tetapi juga sepatu roda dan sepeda BMX.

Mengutip Britannica, pada dekade 1970-an, pengembangan roda poliuretan yang lebih cepat dan bermanuver muncul. Papan pun mengalami perubahan dengan kemunculan kicktail (bagian yang menanjak di ujung papan) pada ujung belakang dan depan. Kicktail memungkinkan papan bisa terangkat saat melakukan trik.

Sejak saat itulah, kegemaran papan luncur menyebar ke seluruh dunia lewat televisi dan majalah. Para atlet pun semakin dikenal seperti Tony Alva dan Stacey Peralta. Pada saat ini juga berkembang rintangan di dalam kolam yang dibuat jadi setengah tapal kuda berbentuk 'U'.

Pada 1980-an, papan luncur tren di kalangan bawah tanah. Para pemain papan luncur membangun jalur landai dan kolam setengah pipanya sendiri, terkadang juga di lingkungan perkotaan sehingga menciptakan gaya jalanan.

"Peningkatan ukuran papan dan peningkatan konstruksi truk (bagian penghubung dua roda), membantu gaya baru berkembang," terang atlet papan luncur profesional Tony Hawk di Britannica. "Selama waktu inilah subkultur anak muda yang khas mulai berkembang di sekitar olahraga. Punk rok dan pakaian longgar menjadi terkait erat dengan skater muda.

Papan luncur dan punk

Atlet profesional papan luncur Tony Hawk tampil di Fælledparken Skatepark, Denmark, tahun 2015. (Stig Nygaard/Flickr)

Seperti yang diterangkan Hawk, papan luncur dan punk terkait erat. Menurut Konstantin Butz, hubungan punk sebagai subkultur anak muda yang menentang masyarakat mapan dengan olahraga papan luncur karena ada "energi" yang sama.

Butz adalah asisten profesor di bidang kajian seni dan budaya. Fokusnya adalah kajian budaya Amerika di Academy of Media Arts Cologne. Ia membuat tesis doktoralnya pada 2012 berjudul Grinding California, Culture and Corporeality in American Skate Punk.

“Anda tahu, energi di balik [punk] sangat masuk akal untuk skateboarding,” ucap Steve Olson, atlet papan luncur profesional kepada Butz di Huckmag.

“Bahkan lebih dari berselancar, karena skateboard sedikit lebih gaduh—sedikit lebih berbahaya. Dan punk rok memiliki sedikit bahaya di baliknya. Ada banyak kesamaan yang terjadi, tetapi energi adalah yang paling penting. Energi di balik punk rok dan ketika Anda berada di papan luncurmu sangat mentah. […] Energinya adalah koneksi, pemberontakan melawan tipikal dan melawan norma.”

Secara filosofis, situasi berat menciptakan gaya. Begitu pula pada skateboarding. Butz menjelaskan, reaksi bawah sadar terhadap realitas fisik membuat seseorang harus berbuat sesuatu. Bermain papan luncur bukanlah perkara trik, tetapi bagaimana menempatkan energi pada papan untuk membawa kita.

Ruas bebas Skateboard di Jakarta. (Instagram/@ussfeeds)

"Arus bawah sosial, politik, fisik, dan metafisik yang mendorong papan luncur dan punk satu sama lain tidak diragukan lagi kuat. Dan sikap do-it-yourself yang dimiliki oleh pemain papan luncur dan punk jelas memicu persatuan," tulis Butz.

Keeratan inilah yang kemudian menggabungkan dua istilah sebagai label subkultur baru: skatepunk. Citra hubungan olahraga papan luncur dan punk tersebar dengan budaya populer, termasuk lewat gim video Tony Hawk di PlayStation yang menggunakan daftar lagu punk.

Pada dekade 1990-an, tren papan luncur makin berkembang pesat. Kompetisi papan luncur pertama kali diadakan pada 1995 dan disponsori jaringan televisi kabel sebagai olahraga alternatif.

Hari papan luncur sedunia pun ditetapkan pada 21 Juni sejak 2004 oleh International Association of Skateboard Companies (IASC). Tujuannya, agar olahraga papan ini bisa diakses di banyak kota dan negara.

   

Baca Juga: Dari Manakah Asal-usul dan Siapakah yang Meciptakan Olahraga Hoki?

Baca Juga: Kiprah Sepatu Vans Sebagai Sepatu Skate Populer Sepanjang Masa

Baca Juga: Panjat Tebing Makin Populer Tapi Jejak Kapurnya Dikritik Pelestari

Baca Juga: Spelunking: Hobi Menjelajah Gua yang Ekstrem, Namun Tetap Digemari

   

Kini, di Jakarta, pemain papan luncur bisa ditemukan saat malam hari di sepanjang Jalan Sudirman. Baru-baru ini pula, pemerintah juga menyediakan fasilitas bermain papan luncur jalanan di Jakarta, tepatnya sekitar Blok M. Bahkan, mereka kerap terlihat setiap hari bebas mobil di Minggu pagi.

Suatu sore di Palmerah, Jakarta, saya dan rekan kerja saya Malik Asher yang juga hobi bermain papan luncur berbicara tentang kegiatan olahraga ekstrem itu. Tren papan luncur makin bergerilya di Jakarta, seiring dengan tren berolahraga di masa pagebluk. Belakangan, muncul istilah bike to work di kalangan para pekerja Jakarta.

"Mungkin lain kali kita berangkat ke kantor, bisa kali?" tawar saya. Malik menyengir, "Wah, boleh itu. Jadi skate to work!"