Nationalgeographic.co.id—Sahabat, berapa nilai ilmu pengetahuan alam (IPA), termasuk fisika, kimia, dan biologi, yang pernah Anda pelajari di sekolah?
Jika nilai Anda buruk, itu tidak buruk. Tenang saja. Angka nilai bukan berarti Anda benar-benar bodoh di bidang sains. Buktinya, Anda mengikuti kabar sains terkini di halaman berita seperti National Geographic Indonesia dan memahaminya.
Sebuah penelitian menunjukkan, sebenarnya banyak orang awam yang sebenarnya pintar di dunia sains. Tidak perlu Anda menjadi ilmuwan di bidang IPA, pengetahuan umum dasar saja sudah bisa membantu dalam sebuah penelitian IPA. Temuan itu dipublikasikan oleh para peneliti di jurnal Research, Ideas, and Outcome (RIO) pada 27 Juni 2022.
Jadi, tim penelitian yang dipimpin Melanie Pivarski dari Roosevelt University, Chicago, United States of America pada suatu hari mengajak masyarakat yang punya daya tarik sangat besar dalam bidang penelitian. Mereka hendak mencari tahu, apakah data yang dikumpulkan masyarakat awam ini berguna atau tidak.
Pivarski dan tim lewat teknologi, mencari tahu bagaimana warga awam bisa terlibat untuk kepentingan publik. Masyarakat bisa menjadi kontributor sukaralela sebagia pengumpul data.
Dengan keterlibatan masyarakat, ilmuwan bisa terbantu untuk mengumpulkan lebih banyak dan menganalisis lebih cepat informasi daripada yang biasa dilakukan. Bahkan, keuntungannya bisa menghemat biaya penelitian.
"Mengejutkan bagaimana semua kelompok umur dari anak-anak, keluarga, remaja, dan orang dewasa mampu menghasilkan set data taksonomi berkualitas tinggi, melakukan pengamatan dan menyiapkan pengukuran, dan pada saat yang sama memberdayakan ilmuwan komunitas melalui kontribusi otentik untuk sains," kata Matt von Konrat di Eurekalert.
Dia adalah ahli botani dan kepala koleksi tanaman di Chicago Field Museum yang menjadi penulis studi yang jadi salah satu penulis makalah.
Akurasi dan konsistensi adalah prinsip utama pengumpulan data ilmiah. Untuk menerapkannya lewat masyarakat atau komunitas, metode penelitian tradisional hanya sebaik kualitas data yang dihasilkan.
Pada penelitian ini, para peneliti mengajak masyarakat yang berkontribusi untuk mengambil data dari herbarium. Melansir Science Alert, ada 3.000 herbarium di museum di seluruh dunia dengan sekitar 350 juta spesimen, yang saat ini mengalami digitalisasi. Digitalisasi ini memungkinkan masyarakat bisa 'lebih dekat' dengan spesimen tanpa mengganggu pelestarian.
"Proyek pengumpulan data yang bersumber dari kerumunan […] memiliki potensi untuk mempercepat penemuan dan dokumentasi keanekaragaman hayati dari gambar digital spesimen ilmiah," kata Konrat.
Studi ini berfokus pada kegiatan di pameran di Field Museum, Chicago, AS. Di sana pengunjung bisa ambil bagian dalam proyek sains warga.
Dalam aktivitasnya, pengunjung museum menggunakan layar sentuh digital besar untuk mengukur foto mikroskopis daun tumbuhan lumut hati (Marchantiophyta). Tanaman ini sangat kecil--seukuran bulu mata, sensitif terhadap perubahan iklim, dan dapat menjadi indikator bagaimana perubahan iklim memengaruhi suatu wilayah.
Para pengunjung diminta untuk membuat garis yang berpotongan pada sudut siku-siku dan mencatat pengukuran untuk setiap garis dalam piksel. Gambarnya diskalakan satu piksel bading 1,05 mikron karena lumut hati ukurnanya lumayan kecil.
Data pengunjung dikumpulkan dengan kelompok berdasarkan usia, anak-anak (10 tahun ke bawah), remaja (10-18 tahun), dan dewasa (di atas 18 tahun). Agar mengetahui seberapa 'baik' tiap entri data sains warga, para peneliti membandingkannya dengan para ahli yang dicoba dengan metode yang sama.
Baca Juga: Demi Pengetahuan Sains, Para Dewasa Muda Ini Rela Terkena Virus Corona
Baca Juga: Dampak Covid-19 dan Persepsi Negatif Opini Publik Terhadap Aksi Iklim
Baca Juga: Pemadaman Tak Cukup, Kebakaran Lahan Gambut Harus Dicegah Banyak Pihak
Baca Juga: Penelitian Menunjukkan Anak Kecil Bisa Alami Krisis Kesehatan Mental
"Kami tidak tahu apakah akan ada anak-anak menggambar di layar sentuh alih-alih mengukur daun, atau apakah mereka dapat mengikuti tutorial, seperti halnya orang dewasa," Pivarski. Ternyata, dalam analisis, dia dan tim menemukan bahwa 60 persen dari semua entri yang dikerjakan pengunjung setara dengan pengukuran para ahli.
Tetapi setelah membersihkan dan menganalisis data ilmuwan komunitas (yang mencakup hampir 6.700 lobulus yang diukur), penelitian tersebut menemukan bahwa 60 persen dari semua entri setara dengan pengukuran para ahli. Pivarski terkesan dengan seberapa baiknya anak-anak menyelesaikan tugas.
Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat, bahkan anak-anak, bisa berkontribusi untuk pengambilan data ilmiah. Mungkin, saatnya para ilmuwan melibatkan masyarakat dan anak-anak dalam penelitiannya untuk menambah wawasan umum, ketimbang selama ini hanya jadi penikmat temuan saja.