Efek Jangka Panjang Strict Parenting pada Anak: Baik atau Buruk?

By Utomo Priyambodo, Senin, 4 Juli 2022 | 16:00 WIB
Jangan berbuat kekerasan pada anak, meski itu anakmu sendiri. (leolintang/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Belakangan ini istilah 'strict parents' sedang marak digunakan sebagian masyarakat dan menjadi bahasa gaul kekinian bagi anak muda. Istilah strict parents merujuk pada orang tua yang menerapkan pola asuh anak yang ketat atau strict parenting.

Terkait pola asuh ini, setidaknya ada sebuah studi pada 2017 yang pernah menyelidiki apa saja efek dari strict parenting ini pada anak. "Meskipun keterlibatan orang tua di masa kanak-kanak dapat meningkatkan keberhasilan akademis anak (Landers, Friedrick, Jawad & Miller, 2016), gaya pengasuhan otoriter —ditandai dengan penegakan aturan yang ketat, kontrol tingkat tinggi, dan penekanan pada kepatuhan— dapat mengurangi motivasi anak dan menyebabkan penerimaan tanggung jawab yang buruk," tulis para peneliti dalam laporan studi tersebut.

Pertanyaannya pentingnya, apakah efek ini bakal bertahan sampai dewasa? Studi ini menggunakan sebuah desain korelasional untuk menentukan apakah persepsi diri, sikap, dan perilaku para orang dewasa yang dibesarkan oleh orang tua yang ketat (strict parents) berbeda dari para orang dewasa yang dibesarkan oleh orang tua yang permisif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para peserta dengan orang tua yang ketat lebih kecil kemungkinannya, dibandingkan para peserta dengan orang tua yang permisif, untuk menggambarkan diri mereka sebagai "street-smart". Street-smart adalah kepintaran yang dimiliki seseorang yang berasal dari pengalaman yang dia dapatkan sendiri di dunia nyata dan di luar lingkup pendidikan formal, alias "belajar sambil jalan".

Meski demikian, orang-orang dewasa dengan strict parents menggambarkan diri mereka sebagai orang yang lebih bertanggung jawab. Mereka juga lebih cenderung merasa siap untuk beralih dari strict parenting dan mengatakan bahwa mereka tidak akan ketat sebagai orang tua.

Namun, orang-orang itu juga lebih cenderung mengatakan mereka akan menggunakan hukuman yang ketat jika anak mereka merokok ganja, minum alkohol di bawah umur, atau tidak mengejar gelar yang lebih tinggi. Meskipun ini adalah studi korelasional dan oleh karena itu tidak memungkinkan kesimpulan sebab-akibat, temuan ini menunjukkan bahwa orang tua harus dididik tentang potensi efek jangka panjang dari gaya pengasuhan yang mereka adopsi pada kesejahteraan anak-anak mereka di masa dewasa.

Hasil studi lain menyebutkan bahwa anak-anak yang orang tuanya mengontrol dan tidak berkomunikasi dengan baik dengan putra dan putri mereka, lebih mungkin mengalami obesitas. Para peneliti dalam studi ini menemukan bahwa anak-anak usia 2 hingga 5 tahun yang orang tuanya menetapkan batasan yang ketat, tanpa membiarkan banyak dialog atau menunjukkan banyak kasih sayang, 30 persen lebih mungkin mengalami obesitas daripada rekan-rekan mereka yang orang tuanya penuh kasih sayang dan berdiskusi tentang perilaku dengan anak-anak mereka.

Adapun di kelompok anak-anak usia 6 hingga 11 tahun, mereka yang memiliki orang tua yang lebih ketat memiliki peluang 37 persen lebih tinggi untuk mengalami obesitas daripada anak-anak yang orang tuanya penuh kasih sayang dan berkomunikasi dengan baik dengan anak-anak mereka.

Para peneliti juga menemukan bahwa kemiskinan berkontribusi pada peningkatan risiko obesitas pada anak. Namun, terlepas dari tingkat pendapatan keluarga, pola asuh orang tua yang ketat itu tampaknya masih mempengaruhi risiko obesitas pada anak.

"Bahkan jika Anda mengendalikan kemiskinan, gaya pengasuhan masih bisa membuat perbedaan," kata penulis studi Lisa Kakinami, seorang ahli epidemiologi di McGill University di Montreal, seperti dilansir NBC News.

Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan data dari National Longitudinal Survey of Children and Youth, sebuah survei yang dilakukan setiap dua tahun yang meneliti indeks massa tubuh (IMT) anak-anak usia 11 tahun ke bawah di Kanada. Data tersebut dikumpulkan dari tahun 1994 hingga 2008.

Tim peneliti mengidentifikasi empat gaya pengasuhan: otoritatif, di mana orang tua menuntut tetapi juga responsif terhadap kebutuhan anak-anak mereka; otoriter, di mana orang tua menuntut tetapi tidak responsif; permisif, di mana orang tua responsif terhadap anak-anak mereka tetapi tidak menuntut; dan lalai, di mana orang tua tidak menuntut atau responsif.