Nationalgeographic.co.id—Pada 2017, seorang pria berumur 69 tahun dengan kanker pankreas pergi ke rumah sakit dengan tekanan darah yang tidak normal. Sayangnya, dia meninggal dua hari kemudian dan jenazahnya dikremasi.
Tapi ternyata masalahnya tidak selesai hanya sampai di situ. Pihak rumah sakit dan petugas yang mengkremasi mayat pria itu tidak mengetahui bahwa satu hari sebelum pria itu meninggal, pria itu mendapatkan suntikan senyawa radioaktif di rumah sakit lain untuk mengobati kankernya tersebut.
Dan ketika jenazahnya dibakar, dosis radioaktif jenis lutetium Lu 177 dotate yang berpotensi berbahaya ini masih ada di dalam tubuhnya. Kasus ini kemudian menimbulkan kekhawatiran dan membuat pihak rumah sakit dan para petugas menjadi panik dan khawatir dengan potensial berbahaya radiasi nuklir yang muncul karenanya.
Peristiwa yang terjadi di tahun 2017 ini membuat para ilmuwan terlibat karenanya. Kasus ini, selanjutnya dilaporkan dalam surat penelitian yang menggambarkan risiko kolateral akibat kedokteran nuklir yang melibatkan radiofarmasi.
Hasil penelitian itu kemudian dilaporkan di Jama Network, dengan judul "Radiation Contamination Following Cremation of a Deceased Patient Treated With a Radiopharmaceutical" yang merupakan jurnal akses terbuka.
Hasil penelitian tersebut menggambarkan risiko dan potensi yang ditimbulkan oleh rata-rata 18,6 juta prosedur pengobatan nuklir yang melibatkan radiofarmasi yang dilakukan di Amerika Serikat setiap tahunnya.
Aturan yang berlaku saat ini hanya mengatur bagaimana obat ini diberikan kepada pasien yang masih hidup, tapi tidak ada aturan yang jelas ketika pasien tersebut meninggal.
"Radiofarmasi menghadirkan tantangan keamanan postmortem yang unik dan sering diabaikan," kata para peneliti menjelaskan seperti dilansir sciencealert.
Para peneliti menjelaskan bahwa mengkremasi seorang pasien yang terpapar radiofarmasi kemudian dapat membuat para pekerja yang terlibat terpapar dan bahkan lebih berbahaya.
"Mengkremasi pasien yang terpapar akan menguapkan radiofarmasi, yang kemudian dapat dihirup oleh pekerja (atau dilepaskan ke lingkungan yang berdekatan) dan menghasilkan paparan yang lebih besar dibandingkan dari pasien yang hidup."
Pada kasus mayat di Arizona tersebut, setelah dokter yang merawat dan departemen keselamatan radiasi di rumah sakit pertama mengetahui kematian pria itu, mereka menghubungi krematorium.
Hampir sebulan setelah kremasi dilakukan, para pekerja mereka menggunakan penghitung Geiger untuk mendeteksi tingkat radiasi nuklir di dalam ruang kremasi dan pada peralatan, termasuk oven, filter vakum, dan penghancur tulang.
Apa yang mereka temukan adalah tingkat radiasi nuklir yang rendah namun tetap tinggi, sementara detektor radiasi pribadi spektroskopi mengidentifikasi penyebab utama radionuklida – lutetium Lu 177, senyawa radioaktif yang sama yang digunakan untuk mengobati pria tersebut.
Kevin Nelson, rekan penulis kasus dan petugas keselamatan radiasi mengatakan bahwa memang hasil pengukuran radioaktif di sana radiasinya tidak seperti dampak setelah ledakan nuklir di Chernobyl atau Fukushima, tetapi itu lebih tinggi dari apa yang diperkirakan.
"Ini tidak seperti kedatangan kedua Chernobyl atau Fukushima, tetapi lebih tinggi dari yang Anda antisipasi," kata Nelson.
Meskipun tidak ada bukti definitif yang secara khusus menghubungkan dosis radiofarmasi pasien dengan tingkat radiasi nuklir yang terdeteksi di krematorium, itu pasti penjelasan yang paling mungkin tentang bagaimana tingkat jejak lutetium Lu 177 itu bisa ada di sana.
Baca Juga: 'Rekaman yang Hilang' Ungkap Dampak Merusak Bencana Nuklir Chernobyl
Baca Juga: Tsar Bomba, Bom Nuklir Terkuat yang Pernah Diledakan Milik Uni Soviet
Baca Juga: Inilah Urutan Lima Teratas Kegagalan dalam Imajinasi Ilmu Pengetahuan
Ini juga pertama kalinya kontaminasi radioaktif dari fasilitas krematorium didokumentasikan seperti ini. Tapi itu bukan bagian cerita yang paling mengkhawatirkan.
"Karena itu, jelas itu kemungkinan sumber paparan, dan jika seseorang terpapar secara teratur, setiap minggu atau setiap beberapa hari, maka itu bisa menjadi sumber kekhawatiran."
Mengingat lebih dari setengah dari semua orang Amerika akhirnya dikremasi, manajemen postmortem dari individu yang menerima obat radioaktif adalah area yang perlu dikerjakan oleh sistem kesehatan AS.
Sementara itu, menurut ilmuwan nuklir Marco Kaltofen dari Worcester Polytechnic Institute di Massachusetts, penelitian tersebut mengungkap kasus yang biasanya tidak diperhatikan, tapi cara-cara dan aturan dalam pengobatan dengan radioaktif memang harus dievaluasi.