Nationalgeographic.co.id—Selama ini ada asumsi umum bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (tidak biasa) memiliki komunitas dan lingkungannya sendiri. Anggapan lain, mereka hanya berkumpul sesamanya. Akan tetapi, ternyata menurut penelitian dari University of British Columbia, alih-alih menghilang, ruang gay dan lesbian menyebar dan terdiversifikasi di kota-kota besar.
LGBTQ diperkirakan hidup dengan berkumpul bersama dengan sesamanya di suatu lingkungan tertentu, seperti misalnya lingkungan gay. Lingkungan mereka tidak sama seperti lingkungan yang lainnya yang dianggap lingkungan lurus.
Namun penelitian dari University of British Columbia tersebut menemukan bahwa hanya 12 persen LGBTQ di Amerika berusia 18 tahun ke atas yang saat ini hidup dalam kehidupan atau lingkungan gay. Tidak seperti yang diperkirakan, mereka ternyata hidup menyebar, bergabung bersama dengan lingkungan lainnya dan tidak hidup di lingkungan gay atau berkumpul dengan sesamanya.
Bahkan, menurut survei terbaru oleh Pew Research Center, menunjukkan bahwa 72 persen LGBTQ Amerika sama sekali tidak pernah tinggal di lingkungan gay. Temuan tersebut telah diterbitkan sebagai bagian dari simposium khusus di City & Community, jurnal resmi sosiologi perkotaan dengan judul "Cultural Archipelagos: New Directions in the Study of Sexuality and Space."
Ghaziani mempresentasikan penelitiannya sebagai esai utama dalam kumpulan yang mencakup karya dari empat cendekiawan terkemuka lainnya yang mempelajari pola lokasi komunitas LGBTQ. Seluruh simposium tersebut bebas akses dan dapat diperoleh secara daring.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa orang-orang LGBTQ semakin banyak tinggal di "kepulauan budaya" di luar 'gayborhood' (daerah kota atau kota yang ditandai sebagai dihuni atau sering dikunjungi oleh orang-orang gay). Kondisi serupa sepertinya juga terjadi di banyak kota besar lainnya di seluruh dunia.
Amin Ghaziani, profesor di departemen sosiologi University of British Columbia mengatakan, LGBTQ Amerika adalah kelompok orang yang sangat beragam. "Mengapa kita tidak mengharapkan keragaman itu untuk mengekspresikan dirinya di tempat-tempat yang mereka tinggali dan juga disebut rumah?" kata Ghaziani dalam rilis media.
Penelitian Ghaziani menggunakan data dari sensus AS 2010 untuk memeriksa pola lokasi lesbian, transgender, pasangan sesama jenis dengan anak-anak, dan orang kulit berwarna LGBTQ. Sementara anggota subkelompok ini tidak selalu merasa diterima di gayborhood nasional, data menunjukkan bahwa mereka memiliki tempat sendiri.
Hanya saja, sekitar 88 persen gay tersebut tidak mengekspresikan dirinya di tempat tinggal atau lingkungan mereka. Sementara di sisi lain, mereka juga enggan bercampur dengan sesama gay lainnya dan tidak ingin hidup di lingkungan gay dan berkumpul bersama.
Baca Juga: Sarat Kontroversi Anti-LGBTQ, Nama Teleskop Baru NASA Diprotes
Baca Juga: Genderqueer, Ketika Seseorang Tidak Merasa Sebagai Pria Ataupun Wanita
Baca Juga: Mengapa Warga Tega Merisak Waria?
Hal yang sama juga ternyata terjadi dengan lesbian yang sebagian besar ternyata lebih memilih tidak hidup di lingkungan lesbian dan membaur dengan masyarakat lainnya dan tidak secara terang-terangan menunjukan identitas diri mereka.
Tidak hanya itu, bahkan kelompok pasangan sesama jenis yang memiliki anak di banyak kota justru tercatat terdapat di daerah-daerah yang jauh dari kehidupan gay atau lesbian.
Di daerah pedesaan justru lebih menarik, ada lebih banyak pasangan lesbian dibandingkan pasangan gay, di tempat dengan biaya kontrakan yang lebih murah yang mungkin hal ini disebabkan kesenjangan perbedaan upah gender.
"Kami berbicara banyak tentang penurunan kaum gay," kata Ghaziani.
"Area-area ini tidak diragukan lagi berubah, tetapi jika kita terlalu menekankan kerugian maka kita tidak akan melihat perkembangan baru yang dinamis yang sedang terjadi. Kita perlu memperluas pandangan kita di luar gayborhood."