Para peserta eksperimen diberitahu bahwa mereka harus mencari hasil pencarian gambar Google dari empat profesi yang tidak mereka kenal. Pekerjaan itu adalah pedagang lilin (chandler), pedagang kain (draper), pembuat rambut palsu keriting abad ke-17 (peruker), dan tukang batu permata (lapidary).
Sebelum melihat hasil pencarian dengan algoritma itu, mereka ditanya soal setiap profesi dan gender, seperti "siapa yang lebih mungkin menjadi peruker, pria atau wanita?"
Baca Juga: Saat Membuat Keputusan, Apa yang Menyebabkan Kita Ragu atau Yakin?
Baca Juga: Adanya Bias Mengerikan Membuat Kita Meremehkan Rasa Sakit Orang Miskin
Baca Juga: Ternyata, Jenazah Kesatria Berusia 1.000 Tahun Ini Bergender Nonbiner!
Baca Juga: Ada Situs AI Bisa Bikin Foto Telanjang Palsu, Bagaimana Etikanya?
Tujuannya sebagai nilai dasar persepsi mereka. Di sini para peserta menilai profesi itu cenderung laki-laki daripada perempuan. Setelah melihat gambar, ternyata persepsi bias suatu pekerjaan untuk gender tertentu memperkuat persepsi mereka.
Untuk mengetahui bias didorong oleh pencarian internet untuk memengaruhi keputusan merekrut seseorang, peserta menilai karakter. Penilaian itu mencocokkan pria atau wanita pada setiap profesi. Misalnya, orang seperti apa yang mungkin bisa dipekerjakan sebagai peruker?
Para peneliti menjelaskan, temuannya konsisten dengan penelitian eksperimen lainnya. Ternyata hasil internet untuk menentukan gambaran suatu pekerjaan anatara laki-laki punya ketidaksetaraan.
"Hasil ini menunjukkan siklus propagasi bias antara masyarakat, AI, dan pengguna," tulis Vlasceanu dan Amodio.
"Temuan menunjukkan bahwa tingkat ketidaksetaraan masyarakat terbukti dalam algoritme pencarian internet dan paparan terhadap keluaran algoritmik ini dapat menyebabkan manusia pengguna untuk berpikir dan berpotensi bertindak dengan cara yang memperkuat ketidaksetaraan sosial."