Tinggalkan Pertanian, Orang Romawi Hidup Nomaden seperti Suku Hun

By Sysilia Tanhati, Rabu, 13 Juli 2022 | 10:00 WIB
Sebuah penelitian ungkap bahwa orang Romawi hidup nomaden seperti Suku Hun dan tinggalkan pertanian. Alih-alih berseteru, orang di perbatasan dapat hidup berdampingan dengan suku Hun. (Oziel Gómez)

Nationalgeographic.co.id—Suku Hun menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Romawi, bahkan sebelum mereka menginjak wilayah Romawi. Menurut sejarah, di bawah kepemimpinan Attila sang Hun, serangan suku barbar ini jadi salah satu penyebab jatuhnya salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah. Penulis sejarah mengungkap kekejaman suku Hun, namun apakah catatan sejarah itu benar atau ditulis secara berlebihan? Sebuah penelitian ungkap bahwa orang Romawi hidup nomaden seperti Suku Hun dan tinggalkan pertanian.

Penelitian dilakukan dengan menganalisis gigi dan tulang sebagian orang Romawi yang meninggalkan rumah untuk menjadi pengembara. Mereka meninggalkan pertanian yang jadi fondasi peradaban Romawi.

Benarkah penulis Romawi berlebihan dalam menulis sejarah tentang suku Hun?

Jika membaca catatan sejarah yang ditulis orang Romawi, kedatangan suku Hun di perbatasan kekaisaran bagai bencana yang mengerikan.

“Orang Hun dalam jumlah banyak datang dengan kekuatan dan murka … menyebarkan kecemasan dan kerugian,” isi puisi yang terukir di dinding di Konstantinopel kuno. "Dan tidak ada apa-apa selain kehilangan nyawa dan napas, jalan mereka akan tetap ada."

Suku Hun nomaden disebut-sebut sebagai suku yang berbahaya, tidak manusiawi, momok semua negeri. Sebagian besar catatan sejarah ditulis setelah perang dengan suku Hun berakhir. Sebagian besar menyalahkan mereka atas kejatuhan Romawi dan Abad Kegelapan yang mengikutinya.

Suku Hun sangat ditakuti, bahkan jauh sebelum mereka menginjak wilayah Romawi. (Peter Johann Nepomuk Geiger)

Memang benar bahwa serangan militer Hun menghancurkan Kekaisaran Romawi sampai ke intinya. Tetapi Susanne Hakenbeck, seorang arkeolog di University of Cambridge, curiga dengan laporan sejarah yang berlebihan ini.

"Cara mereka menulis tentang mereka benar-benar klise," ungkapnya. "Mereka berkata, 'mereka terlihat seperti binatang', 'tidak ada yang mereka lakukan beradab', 'mereka semua mengerikan.' Dan saya hanya berpikir, bagaimana ini bisa benar? Ada begitu banyak bias yang jelas dalam sumber-sumber ini. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Memeriksa tulang-tulang suku Hun dan orang Romawi di perbatasan

Untuk menjawab pertanyaan itu, Hakenbeck langsung menuju ke sumbernya: memeriksa sendiri tulang-tulang Hun dan orang Romawi di perbatasan.

Hakenbeck mempelajari sisa-sisa sekitar 200 orang dari lima situs abad ke-5 di Pannonia. Ini adalah wilayah perbatasan Romawi, sekarang menjadi bagian dari Hongaria. Tim memeriksa rasio unsur-unsur yang terkandung dalam tulang dan gigi manusia purba. Dari sana Hakenbeck bisa mengetahui siapa dan bagaimana mereka hidup.

Apa yang ditemukan para ilmuwan mengejutkan. Sementara elit Romawi dan Hun sedang berperang, orang-orang biasa yang tinggal di wilayah perbatasan ini hidup berdampingan. Mereka bahkan saling bekerja sama.

Perubahan gaya hidup suku Hun dan orang Romawi

Tulang-tulang yang dikubur di kuburan yang sama menunjukkan ciri-ciri gaya hidup yang sangat berbeda. Beberapa memiliki bukti bahwa pemiliknya adalah petani, yang lain memiliki ciri-ciri pengembara. Beberapa tulang menunjukkan bahwa individu tersebut dilahirkan dalam suku yang berkeliaran tetapi kemudian menetap. Yang lain menunjukkan perubahan gaya hidup yang berlawanan.

“Ada perubahan besar dalam keadaan kehidupan masyarakat, baik pada individu tertentu maupun dalam populasi,” kata Hakenbeck. "Orang-orang melakukan segala macam hal yang berbeda, tetapi mereka semua berakhir di kuburan yang sama."

Ini menunjukkan bahwa kisah kekerasan tidak manusiawi yang diceritakan oleh orang Romawi “kebanyakan tidak benar,” kata Hakenbeck. Menurutnya kisah tentang suku Hun tidak semata-mata tentang kekerasan. Namun merupakan kisah pertukaran lintas batas, kemampuan beradaptasi lintas batas.

Analisis Hakenbeck mengingatkan kita pada pepatah “kita adalah apa yang kita makan dan minum". Makanan yang berbeda akan meninggalkan ciri khas pada isotop karbon, nitrogen, dan strontium yang terkandung di dalam tulang seseorang.

Suku Hun nomaden hidup dari daging, susu, dan biji-bijian dan sisa-sisa yang diteliti mencerminkan hal itu. Sisa-sisa tersebut mengandung rasio nitrogen 15 yang lebih tinggi. Kondisi ini biasanya ditemukan dalam daging dan isotop karbon yang disukai oleh rumput daerah kering.

Sebaliknya, populasi pertanian kebanyakan mengonsumsi biji-bijian dan tanaman lain. Tulang mereka mengandung bentuk karbon yang disukai oleh buah-buahan, sayuran dan gandum.

Unsur strontium, yang larut dalam air minum dan dimasukkan ke dalam email gigi. Ini juga dapat digunakan untuk melacak individu ke tempat kelahirannya dan menentukan seberapa banyak mereka telah bepergian. Selain itu, beberapa tengkorak memiliki bukti modifikasi. Suku Hun dan orang kuno lainnya membentuk kepala mereka dengan mengikat tengkorak bayi.

Analisis isotop sisa-sisa dari kuburan Pannonia menunjukkan bahwa komunitas ini terus berubah. Tampaknya beberapa orang Hun tertarik pada gaya hidup pertanian dan menetap. Dalam kasus lain, para petani tampaknya telah mengangkat senjata dan bergabung dengan para penggembala yang bermigrasi. Tidak ada pola yang jelas berdasarkan jenis kelamin, modifikasi tengkorak atau barang kuburan yang menyertainya, kata Hakenbeck.

Ini tanda bahwa masyarakat biasa di perbatasan terus bertukar ilmu dan budaya meski para pemimpinnya berperang. Di sisi lain, masyarakat tersebut kerap menghadapi tekanan politik dan ekonomi.

"Ini adalah masa-masa sulit - ada kekerasan, ada ketidakstabilan ekonomi. Saya membayangkan memiliki jalan lain untuk berbagai jenis penghidupan adalah semacam polis asuransi," katanya.

Pertukaran gaya hidup yang unik antara suku Hun dan orang Romawi

Hakenbeck mengatakan dia belum pernah mendengar tentang pertukaran semacam ini. Wilayah Pannonia unik karena dibelah oleh sungai dan iklimnya cocok untuk pertanian dan penggembalaan.

Dia pernah menemukan satu catatan tertulis tentang seorang warga negara Romawi yang mengikuti cara hidup orang Hun. Seorang utusan Romawi abad ke-5 untuk Atilla, penguasa Hun, menulis tentang pertemuannya dengan seorang mantan pedagang di wilayah penakluk. Rupanya pria itu pernah menjadi tahanan tetapi memilih tinggal bersama orang Hun bahkan setelah tebusan dibayarkan.

Ketika dibujuk untuk kembali, pedagang itu berkata, "Untuk apa? saya tidak perlu membayar pajak, dan saya memiliki kehidupan yang menyenangkan."

   

Baca Juga: Tidak Setenar Suku Hun, Siapa Orang Avar yang Jadi Musuh Romawi?

Baca Juga: Tidak Setenar Suku Hun, Siapa Orang Avar yang Jadi Musuh Romawi?

Baca Juga: Invasi Suku Barbar ke Romawi Jadi Awal Mula Kejatuhan Romawi

Baca Juga: Apakah Atilla sang Hun adalah Pemimpin Barbar Terhebat dalam Sejarah?

   Pedagang itu juga berkata tentang orang Hun, "Mereka hidup tanpa aktivitas, menikmati apa yang mereka dapatkan. Hampir tidak pernah atau jarang sekali dilecehkan."

Dalam catatan Romawi, utusan meyakinkan pedagang untuk kembali ke kehidupannya di kekaisaran. “Namun catatan tersebut bisa saja bermotif politik,” kata Hakenbeck. Siapa yang tahu apa yang terjadi dalam kehidupan nyata atau dalam kasus yang tidak dicatat oleh sejarawan?

“Hal tentang analisis isotop adalah memungkinkan kita untuk memahami tentang kehidupan orang biasa,” kata Hakenbeck. Inilah kelebihan dari arkeologi: materi dan metode ilmiahnya tidak membeda-bedakan. Mereka mempelajari semua orang, tambahnya lagi.

Sebagian besar penulis Romawi mungkin menganggap suku Hun tidak beradab dan tidak manusiawi. Di sisi lain, tampaknya banyak orang Romawi di pinggiran kekaisaran tertarik pada gaya hidup suku yang dianggap tidak beradab itu. Sama halnya beberapa orang nomaden yang tertarik dengan gaya hidup mapan bangsa Romawi.