Revolusi Prancis Jadi Titik Awal 'Efek Domino' Perubahan di Eropa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 15 Juli 2022 | 11:00 WIB
Lukisan puncak Revolusi Prancis: Penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789 oleh H. Jannin yang kini ada di Musée de la Révolution Française. Revolusi ini punya efek jangka panjang dalam sejarah modern. (H. Jannin/Wikimedia Commons.)

Nationalgeographic.co.id—Semangat kaum revolusioner Prancis menjatuhkan rajanya, Louis XVI, membuat kerajaan itu berubah sistem politik. Singkatnya, Napoleon Bonaparte jadi kaisar pertama Republik Prancis yang hendak membawa semangat revolusi ini ke seluruh Eropa.

Kesadaran rakyat jelata adalah hal yang dikhawatirkan banyak monarki di Eropa. Banyak kerajaan-kerajaan Eropa akhirnya membentuk persekutuan untuk berperang melawan Napoleon. Perang di Eropa pun berkecamuk dari 1792 hingga 1815, ketika Napoleon berhasil dikalahkan.

Akan tetapi, perang itu justru menularkan Revolusi Prancis kepada negara dan kerajaan di Eropa. Dampaknya jangka panjang, mulai dari sosial, pemikiran filsafat politik, hingga revolusi kemerdekaan koloni. 

Sejarawan Eropa dan pengajar di University of Tennessee Vejas Gabriel Liulevicius menjelaskan, ada perubahan pada Eropa pasca kekalahan Napoleon. Kaum revolusioner Prancis membuat pembaruan di bidang militer. Tahun 1793, Komite Keamanan Publik mendeklarasikan mobilisasi universal bangsa Prancis (levée en mass) yang menyatakan setiap orang harus direkrut untuk perang.

"Laki-laki harus berperang, perempuan harus memproduksi untuk usaha perang, dan bahkan laki-laki tua harus berdiri di tempat umum memberikan pidato patriotik," tulis Lilevicius di Wondrium Daily di artikel berjudul The Influence of the French Revolution on European History. "Jika kedaulatan adalah milik rakyat atau bangsa kini, maka semua orang terlibat dalam perang, baik prajurit maupun sipil."

Masyarakat Prancis pada saat itu dimotivasi oleh ideologi patriotik dari revolusi untuk memperjuangkan kebebasan. Sehingga, ketika Napoleon melakukan kampanyenya berperang dengan kerajaan-kerajaan Eropa, tentaranya sangat banyak untuk dikirimkan.

Motivasi mereka tidak lagi pasif yang diatur-atur oleh raja atau pangeran di masa sebelumnya. Hal ini membuat kenaikan pangkat bisa dilakukan berkat prestasi, bukan karena apakah seorang prajurit punya latar belakang bangsawan. Liulevicius memperkirakan, hal inilah yang membuat orang-orang jenius seperti Napoleon naik pangkat.

Melibatkan masyarakat setelah Revolusi Prancis, membuat mereka jadi gigih di medan perang. Walau amatir dalam menggunakan senjata, tentara Prancis terus menghujani tentara Jerman dalam beberapa perangan. "Setiap Prancis menembakkan meriam mereka, mereka menyanyikan lagu kebangsaan mereka yang sengit, La Marseillaise dan berteriak, 'Vive la nation!'," ujarnya.

Apa yang membuat Napoleon dan Prancis gigih untuk menyerang kerajaan-kerajaan tetangga, adalah semangat dan klaim mereka sebagai pembebas. Selama Perang Napoleon, slogan mereka adalah, "Perang dengan semua raja, damai dengan semua orang!" Hal itu terjadi saat Belanda jatuh di tangan Prancis dan pemimpinnya diganti oleh adik Napoleon, Louis Bonaparte.

Penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe menyimpulkan, "Di sini dan sekarang sera baru sejarah dunia dimulai." Dia memandang perubahan Revolusi Prancis lewat kampanye militer adalah mengalahkan otoritas lama dan menjadi otoritas revolusioner baru.

Berkat Revolusi Prancis, prajurit bisa naik pangkat berkat prestasi, bukan karena latar belakang bangsawannya. Mungkin inilah yang menyebabkan orang pintar seperti Napoleon Bonaparte bisa naik pangkat. (Jacques-Louis David/Istana Charlottenburg )

Namun, invasi Prancis justru memicu reaksi berantai perlawanan nasionalisme terhadap Prancis. Banyak orang di Jerman, Spanyol, dan Rusia, bergabung jadi relawan nasionalis untuk berunjuk rasa memerangi perang gerilya melawan pembebas Prancis.