Bernaung di Bawah Atap Joglo: Hunian Para Priayi Aristokrat Jawa

By Galih Pranata, Sabtu, 16 Juli 2022 | 09:00 WIB
Sebuah pendopo kerajaan yang sangat besar di Istana Mangkunegaran beratap joglo. (Crisco/Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Saat berkunjung ke kawasan Yogyakarta atau Surakarta, atau mungkin tempat lainnya di Jawa, bangunan joglo dengan mudah dapat ditemui. Namun, bangunan tradisi ini sangat lekat dengan nilai historis kalangan atas masyarakat Jawa.

Desi Khanifah Narwati menulis dalam skripsinya kepada Universitas Sebelas Maret Surakarta berjudul Budaya Priyayi Baru (Studi Gaya Hidup Priyayi Baru Di Societeit Harmonie Surakarta 1920-1930) yang terbit pada tahun 2014. Ia menyebut bahwa joglo ditinggali oleh keluarga priayi aristokrat.

Secara bentuk, joglo menyerupai kraton, singgasana raja-raja muslim Jawa, hanya saja ukurannya jauh lebih kecil. Di bawah atapnya, para priayi bangsawan meniti kehidupannya.

Slamet Subiyantoro, seorang profesor Pendidikan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, menyebut bahwa Rumah joglo dalam pemahaman Jawa merupakan cerminan sikap, wawasan, serta tingkat ekonomi-sosio-kultural masyarakatnya.

Ia menuliskan prinsip tradisi Jawa dalam jurnal Bahasa & Seni berjudul "Rumah Tradisional Joglo dalam Estetika Tradisi Jawa" yang terbit pada tahun 2011. Dalam tulisannyalah, Slamet mengungkap adanya refleksi joglo dengan gaya hidup seseorang yang mendiaminya.

Seperti halnya juga di Kudus, rumah joglo dipandang sebagai simbol kedigdayaan dan keunggulan seorang priayi aristokrat Jawa. Orang-orang yang hidup di bawah atap joglo dianggap punya tingkatan sosial lebih tinggi dibanding dengan para saudagar.

"Dari segi ukiran, ada simbol kemenangan dan kebanggaan yang diperlihatkan dengan bentuk kekayaan, di samping dalam bentuk ukiran yang menghiasi gebyok rumahnya," tulis Ashadi dalam jurnal NALARs berjudul "Jejak Keberadaan Rumah Tradisional Kudus: Sebuah Kajian Antropologi—Arsitektur dan Sejarah" yang terbit pada 2010.

Slamet juga menggambarkan bahwa joglo disebut sebagai tikelan (patah) karena atap rumahnya seolah-olah patah menjadi tiga bagian: brunjung, penanggap, dan panitih. Di dalamnya, terdapat pendapha, pringgitan, dalem, dapur, gandhok, dan gadri.

Susunannya secara vertikal juga terbagi ke dalam tiga bagian: atap, tiang atau tembok, dan bawah atau ompak. "Susunan ini merupakan transformasi candi ditafsirkan sebagai lambang dunia atas (dewa), dunia tengah (kehidupan), dan dunia bawah (kematian)," sambung Slamet.

 Baca Juga: Selidik Pola Hunian Unik dan Mistis di Jantung Kota Bogor

 Baca Juga: Beringin dan Alun-Alun bagi Aktivitas Masyarakat Jawa Tahun 1910

 Baca Juga: Intip Kemegahan Rumah Tradisi di Kampung Adat Nan Gagah di Sumba Barat

Pendapha diilustrasikan sebagai imaji, mendapat tempat sentral dalam kehidupan tradisi masyarakat Jawa. Pendapha joglo juga menjadi tempat pengendalian diri, di mana bagi para priayi dianggap sebagai kewicaksanan (kebijaksanaan).

Begitu juga yang dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa pendapha joglo bersifat teratur, selaras, dan stabil (kosmos). Struktur falsafah pendapha dapat digambarkan dari pertemuan priayi dengan para abdi dalem-nya.

Struktur lantai pendapha tersusun atas tiga tingkat yang melambangkan stratifikasi sosial Jawa. Pada lantai atas pendapha digunakan untuk tempat duduk priayi aristokrat, sedangkan emper digunakan untuk priayi rendahan dan para abdi dalem akan duduk di luar.

Rumah joglo di Yogyakarta sekitar tahun 1908. (Wikimedia Commons)

Meski hari ini bangunan joglo sudah banyak dipandang sebelah mata, tetapi nilai historis menjawab keagungannya di masa lampau.