Adaptasi Penguin Turun saat Berevolusi, Bagaimana untuk Krisis Iklim?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 23 Juli 2022 | 10:00 WIB
Para ilmuwan khawatir bahwa seiring krisis iklim berlangsung, penguin tidak bisa beradaptasi sehebat leluhurnya. (Fabien Petit)

Nationalgeographic.co.id - Tibalah kita di masa penyebutan "perubahan iklim" menjadi "krisis iklim". Pemanasan yang parah berdampak pada kawasan bersalju (semestinya) abadi seperti Antarktika, sehingga mengganggu kehidupan asli di sana, penguin.

Para ilmuwan meyakini, burung yang meluncur di perairan dingin itu akan sulit beradaptasi karena fitur biologis mereka. Pada 19 Juli 2022 lewat jurnal Nature Communication, penelitian mengungkap bahwa adaptasi penguin modern lebih rentan daripada leluhur mereka, menurut analisis genomnya. Makalah itu bertajuk "Genomic insights into the secondary aquatic transition of penguins."

"Penguin adalah produk evolusi yang paling menghibur," tulis rekan penulis Daniel Kespka, paleontolog burung di Bruce Museum, AS, dilansir dari National Geographic. "Mereka telah mengadaptasi rencana tubuh dan gaya hidup yang sama sekali berbeda dari nenek moyang mereka."

Studi itu mengungkapkan bahwa jenis penguin awal cepat beradaptasi di kawasan lingkungan yang baru dibuat di sekitar Belahan Bumi Selatan. Adaptasi itu terjadi setelah kepunahan massal di zaman Kapur-Paleogen sekitar 66 juta tahun silam. Saat itu, dinosaurus punah sehingga membuka banyak ruang bagi hewan kecil untuk menyebar, dan penguin mengisi kawasan selatan.

Saat penguin berevolusi tidak hanya ukurannya saja yang menyusut, tetapi juga kemampuan adaptasi mereka. Jenis purba mereka mengalami mutasi genetik yang membuat kemampuan adaptasinya melambat sejak beralih ke kehidupan laut setelah kepunahan massal. Inilah yang menjadi pertanyaan, mampukah mereka bisa beradaptasi dengan cepat dengan krisis iklim hari ini.

Soal rentannya adaptasi penguin modern memang sudah diketahui para ilmuwan. Akan tetapi, membandingkan semua genom yang masih ada memungkinkan para peneliti mengidentifikasi gen yang bertanggung jawab atas fitur mereka.

Analisis genom penguin menunjukkan bagaimana burung punya sirip kaku dan bulu tahan air ini bisa berenang, kulit tebal dan lemak agar tetap hangat, kemampuan melihat di bawah air, dan kontrol oksigen saat menyelam.

Baca Juga: Fosil Penguin Raksasa Ditemukan Anak Sekolah di Selandia Baru

Baca Juga: 6.000 Penguin Terkecil di Dunia Musnah oleh Kedatangan Tasmanian Devil

Baca Juga: Es Antarktika Mencair, Kuburan Mumi Penguin Terungkap

Baca Juga: Penyebab Ratusan Penguin Kecil Mati Misterius di Selandia Baru Terkuak

"Ini benar-benar memberi kita gambaran keseluruhan," kata Ksepka. Saat ini jarang sekali menemukan fosil leluhur penguin, terutama nenek moyang langsung mereka.

Setelah ledakan adaptasi awal penguin, laju evolusinya secara bertahap melambat. Pertama-tama mereka menyesuaikan diri untuk lingkungan laut, kemudian dengan perubahan iklim yang berulang selama jutaan tahun. 

Ledakan baru keberagaman spesies penguin diperkirakan terjadi dua juta tahun silam ketika zaman es terakhir dimulai. Saat itu, lapisan es meluas dan lingkungan berubah sehingga penguin bisa bermigrasi dan terputus dari kelompok lain. Es kemudian menyusut membuat mereka harus beradaptasi dengan cara yang berbeda setiap spesies.

Kini, krisis iklim membuat penguin harus beradaptasi dengan cepat. Saking cepatnya iklim berubah, kemampuan adaptasinya tak mampu mengejar dan menjadi tantangan evolusi baru bagi penguin.

"Banyak penguin yang tinggal di area ground zero untuk perubahan iklim," terang Ksepka. Spesies Antarktika, seperti penguin chinstrap sangat berisiko, karena esnya telah hilang sekitar tiga triliun ton sejak awal 1990-an. Jenis penguin yang ada di pulau-pulau juga ikut rentan karena mereka tidak punya tempat untuk menyelamatkan diri.

Mei 2022, dilaporkan ada ratusan penguin mati di Selandia Baru dan krisis iklim—akibat manusia—pelakunya. Krisis iklim membuat suhu laut naik dan ikan—makanan utama penguin—berenang makin dalam.

Penguin pun kehilangan pasokan pangan untuk menjaga lemaknya tetap hangat dari suhu dingin. Ketika tidak mampu beradaptasi, mereka mati akibat hiportemia. Manusia harus bertanggung jawab.