Nationalgeographic.co.id—Saat sekelompok peneliti merencanakan untuk mempelajari kesehatan gajah sabana afrika liar yang masih remaja di Kenya bagian tengah, mereka memiliki teori: Gajah yatim akan lebih stres dibanding yang tidak yatim.
Ada banyak bukti bahwa hubungan ibu-anak membantu mengurangi dampak stres pada hewan, yang telah dibuktikan sebelumnya pada tikus, burung kutilang, dan guinea pig, kata pemimpin studi Jenna Parker, anggota riset pascadoktoral bersama San Diego Wildlife Alliance dan Colorado State University. Gajah memiliki struktur sosial yang rumit dan ikatan keluarga yang dalam. Karena gajah yatim di wilayah yang sama memiliki angka kematian yang tinggi dibandingkan gajah yang hidup bersama ibunya, tampaknya yatim yang selamat akan stres.
Tim, bagaimanapun, membuat penemuan yang tak terduga: benar-benar tidak ada perbedaan di tingkat hormon stres pada gajah yatim dan gajah non-yatim, selama mereka hidup bersama anggota keluarga, seperti bibi, sepupu, atau saudara kandung. Gajah—bahkan yang yatim—yang hidup dalam kelompok dengan teman sebaya berubah menjadi kurang stres dibanding mereka yang tidak hidup bersama teman sebaya. "Pendeknya, gajah mungkin bertahan dengan sedikit pertolongan dari teman mereka," tulis Natasha Daly di laman National Geographic pada artikel berjudul "For orphaned elephants, friends may be key to stress relief"
“Kami berharap melihat tingkat yang lebih tinggi [hormon stres] pada gajah yatim,” ucap Parker, “karena sampai usia delapan atau sembilan, gajah sangat jarang berada lebih dari 10 meter dari ibunya.”
Dengan adanya konflik manusia-satwa liar dan ancaman kekeringan yang membayangi gajah di wilayah itu, temuan yang dipublikasikan di Communications Biology pada 14 Juli 2022 menawarkan wawasan baru tentang bagaimana memiliki kelompok teman yang kuat mungkin membantu bagi kelangsungan hidup gajah. Pada 2021, International Union for Conservation of Nature mendaftarkan gajah sabana afrika sebagai genting. Sekitar 36.000 tinggal di Kenya, menurut sensus nasional 2021.
Informasi ini dapat juga membantu fasilitas rehabilitasi yang menerima gajah yatim mempersiapkan hewan itu untuk kesuksesan masa depan di alam liar—sebagai contoh, melepaskan mereka dalam ikatan pertemanan kelompok besar.
Mengukur stres melalui kotoran gajah
Parker memulai studi pada 2015, saat wilayah Cagar Nasional Samburu telah mengalami peningkatan perburuan gajah selama beberapa tahun.
Saat itu, katanya, koleganya di Colorado State University menyadari bahwa “kami tidak benar-benar memahami dampak menyeluruh dari perburuan. Ketika gajah terbunuh, juga ada akibat semua ini bagi yang terikat pada gajah itu.” Mereka ingin melihat dampak tak langsungnya: Bagaimana memburu sang ibu berdampak pada kesejahteraan sosial dan psikologi bagi anak yatim?
Pertama tim melihat tingkat kelangsungan hidup, dan menemukan bahwa gajah yatim di Samburu mempunyai tingkat kelangsungan hidup terendah dibanding gajah yang tidak yatim. Selanjutnya, mereka ingin melihat yang bertahan hidup: Apakah si yatim stres?
Untuk mencari tahu, mereka menguji kotoran gajah untuk melihat konsentrasi metabolit glukokortikoid—zat yang dihasilkan sebagai respons stres di dalam tubuh. “Itu cara yang bagus untuk melihat hormon stress karena itu tidak menyerang,” tutur Parker. “Anda hanya menunggu mereka buang air besar dan mengumpulkannya.”
Biasanya, tingkat yang lebih tinggi akan berasosiasi dengan dengan stres yang lebih tinggi, tetapi satu sampel yang menunjukkan tingkat tinggi tidak meyakinkan, Parker menjelaskan, karena sang gajah “bisa saja sebelumnya baru melewati singa pada hari itu.” Antara 2015 dan 2016, tim mengumpulkan dan menguji 496 sampel kotoran dari 37 gajah betina remaja: 25 telah menjadi yatim, dan yang 12 tidak. Gajah yatim rata-rata berusia lima tahun saat mereka kehilangan ibu mereka.
Meski tim kaget bahwa gajah yatim tidak menunjukkan tingkat stres yang tinggi dibanding gajah yang masih hidup bersama ibunya, faktanya kelompok sebaya tampaknya memainkan peran kunci seperti itu tidak mengagetkan.
Parker mengingat dua yatim dalam studi, Frida dan Rothko. “Frida memiliki telinga kiri terkulai dan Rothko memiliki telinga kanan terkulai,” dan mereka tidak terpisahkan, katanya. “Seolah-olah mereka memiliki sepasang telinga yang bagus selama mereka bersama!”
Penemuan itu juga cocok dengan riset sosial sebelumnya pada gajah afrika, kata Parker. “Para yatim meningkatkan interaksi dengan teman sebaya setelah kematian ibu mereka.” Dia mencatat dominasi itu adalah struktur berdasar usia pada gajah: Gajah yang lebih tua mungkin mengungguli gajah yang muda kalau tentang makanan, sebagai contoh, tetapi yang sebaya umumnya setara.
Mempersiapkan gajah yatim untuk sukses
Parker bekerja bersama gajah yatim di Suaka Gajah Reteti panti asuhan di Kenya bagian utara yang merehabilitasi dan melepaskan gajah muda.
Gajah-gajah itu ada di benaknya selama studi ini, katanya, karena penemuan menunjukkan bahwa melepaskan gajah yatim yang direhabilitasi dalam kelompok besar dengan gajah yang seumuran dapat mempersiapkan mereka untuk kesuksesan awal di alam liar.
Parker ingin melihat studi yang serupa dengan populasi gajah yang lebih banyak spesifik, seperti mereka yang menghadapi perburuan yang lebih ramai.
Kathleen Gobush, biolog kehidupan liar di African Elephant Specialist Group IUCN yang tidak terlibat dalam studi ini, berkata itu akan menarik untuk mengikuti kelompok gajah yang sama saat mereka menghadapi stresor akut, seperti gelombang kekeringan yang hebat atau gelombang perburuan baru.
“Yang digarisbawahi di sini adalah bahwa gajah membutuhkan gajah,” kata Gobush. “Dan saat sesuatu yang buruk terjadi, seperti kehilangan ibu, beberapa menemukan cara baru untuk bertahan hidup dan terus maju.”
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo