Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama

By Sysilia Tanhati, Selasa, 2 Agustus 2022 | 15:00 WIB
Hagia Sophia merupakan bangunan gerejawi yang paling penting dari Kekaisaran Bizantium. Sepanjang sejarah, kubahnya menaungi 3 agama: Kristen Ortodoks, Katolik Roma, dan Islam. (Nazreen Banu)

Nationalgeographic.co.id—Didedikasikan untuk Kebijaksanaan Suci, Hagia Sophia adalah perpaduan dari kerja keras, arsitektur, sejarah, seni, dan politik. Semua ini disatukan di bawah satu atap. Dibangun pada abad ke-6, monumen ini jadi bangunan gerejawi yang paling penting dari Kekaisaran Bizantium. Sepanjang sejarah Hagia Sophia, kubahnya menaungi 3 agama yaitu Kristen Ortodoks, Katolik Roma, dan Islam.

Hagia Sophia sebelum pemerintahan Justinianus

Sejarah Hagia Sophia dimulai jauh sebelum masa pemerintahan Justinianus. Konstantinus Agung memindahkan ibu kota Kekaisaran Romawi ke kota Bizantium dan menamainya Konstantinopel. Karena populasi besar sedang dipindahkan ke kota, maka ia memperbesar kota hingga tiga kali lipat. Ini termasuk membangun sebuah katedral besar di dekat istana kekaisaran, selesai di bawah Konstantius II pada 360.

Informasi tentang seperti apa gereja ini atau maknanya saat pertama kali dibangun sangat langka. Disebut sebagai Gereja Agung, katedral ini menyiratkan dimensi monumental dan kepentingan yang diembannya. Sempat dihancurkan pada kerusuhan tahun 404, pembangunan gereja baru dimulai lagi oleh kaisar Theodosius II.

Nama Hagia Sophia mulai digunakan sekitar tahun 430. Saat itu, Hagia Sophia mungkin berfungsi sebagai sebuah basilika. Hagia Sophia dibakar habis pada tahun 532 selama Pemberontakan Nika melawan Kaisar Justinianus I.

Upaya Justinianus untuk melampaui Raja Salomo

Setelah menekan pemberontakan, Justinianus memutuskan untuk membangun kembali Gereja Agung. Marmer didatangkan dari seluruh daratan Aegea dan ribuan pekerja dikumpulkan. Dibutuhkan lima tahun untuk pembangunan, Hagia Sophia yang baru pun ditahbiskan. Konon setelah pembangunan selesai, Justianus berucap: "Salomo, aku telah melampaui engkau!"

Berbeda dengan versi gereja sebelumnya, denah Hagia Sophia Justinianus adalah gabungan antara basilika dan bangunan yang direncanakan secara terpusat. Bagian penting dari gereja adalah galeri, yang digunakan keluarga kekaisaran selama ritual keagamaan.

Bagian dalam Hagia Sophia dilapisi dengan marmer berbagai warna. Tiang-tiangnya diambil dari bangunan kuno digunakan kembali untuk menopang arkade. Bagian atas didekorasi dengan emas, salib besar dalam medali diletakkan di puncak kubah. Kubah berdiameter 31 meter ini merupakan puncak dari sistem kubah dan semi-kubah yang kompleks. Kubah aslinya hancur pada tahun 558 setelah gempa bumi dan diganti pada tahun 563. Procopius, sejarawan istana Justinianus, menggambarkannya sebagai “kubah emas yang digantung dari surga.”

Hagia Sophia setelah Ikonoklasme

Ikonoklasme yang melanda Kekaisaran Bizantium antara tahun 730 dan 843 menghapus sebagian besar citra keagamaan Hagia Sophia. Pembentukan kembali pemujaan ikon memberi kesempatan untuk program dekorasi baru berdasarkan teologi gambar baru. Mosaik baru ditempatkan di gereja pada masa pemerintahan Basil I dan Leo VI.

Gambar pertama yang diperkenalkan adalah Perawan dan Anak sekitar tahun 867. Berikutnya adalah figur bapa dan nabi gereja. Sayangnya, hanya beberapa figur dan fragmen yang tersisa hingga hari ini. Tidak lama setelah kematian Leo VI, mosaik kaisar yang berlutut di hadapan Kristus yang bertahta dibuat. Di salah satu pintu masuk barat daya adalah mosaik dengan Perawan Maria menggendong Anak Kristus. Dalam mosaik itu, kaisar Konstantinus dan Justinianus mengapit keduanya. Mosaik ini menyoroti kepercayaan Bizantium pada Perawan Maria sebagai pelindung kota.