Nationalgeographic.co.id—Didedikasikan untuk Kebijaksanaan Suci, Hagia Sophia adalah perpaduan dari kerja keras, arsitektur, sejarah, seni, dan politik. Semua ini disatukan di bawah satu atap. Dibangun pada abad ke-6, monumen ini jadi bangunan gerejawi yang paling penting dari Kekaisaran Bizantium. Sepanjang sejarah Hagia Sophia, kubahnya menaungi 3 agama yaitu Kristen Ortodoks, Katolik Roma, dan Islam.
Hagia Sophia sebelum pemerintahan Justinianus
Sejarah Hagia Sophia dimulai jauh sebelum masa pemerintahan Justinianus. Konstantinus Agung memindahkan ibu kota Kekaisaran Romawi ke kota Bizantium dan menamainya Konstantinopel. Karena populasi besar sedang dipindahkan ke kota, maka ia memperbesar kota hingga tiga kali lipat. Ini termasuk membangun sebuah katedral besar di dekat istana kekaisaran, selesai di bawah Konstantius II pada 360.
Informasi tentang seperti apa gereja ini atau maknanya saat pertama kali dibangun sangat langka. Disebut sebagai Gereja Agung, katedral ini menyiratkan dimensi monumental dan kepentingan yang diembannya. Sempat dihancurkan pada kerusuhan tahun 404, pembangunan gereja baru dimulai lagi oleh kaisar Theodosius II.
Nama Hagia Sophia mulai digunakan sekitar tahun 430. Saat itu, Hagia Sophia mungkin berfungsi sebagai sebuah basilika. Hagia Sophia dibakar habis pada tahun 532 selama Pemberontakan Nika melawan Kaisar Justinianus I.
Upaya Justinianus untuk melampaui Raja Salomo
Setelah menekan pemberontakan, Justinianus memutuskan untuk membangun kembali Gereja Agung. Marmer didatangkan dari seluruh daratan Aegea dan ribuan pekerja dikumpulkan. Dibutuhkan lima tahun untuk pembangunan, Hagia Sophia yang baru pun ditahbiskan. Konon setelah pembangunan selesai, Justianus berucap: "Salomo, aku telah melampaui engkau!"
Berbeda dengan versi gereja sebelumnya, denah Hagia Sophia Justinianus adalah gabungan antara basilika dan bangunan yang direncanakan secara terpusat. Bagian penting dari gereja adalah galeri, yang digunakan keluarga kekaisaran selama ritual keagamaan.
Bagian dalam Hagia Sophia dilapisi dengan marmer berbagai warna. Tiang-tiangnya diambil dari bangunan kuno digunakan kembali untuk menopang arkade. Bagian atas didekorasi dengan emas, salib besar dalam medali diletakkan di puncak kubah. Kubah berdiameter 31 meter ini merupakan puncak dari sistem kubah dan semi-kubah yang kompleks. Kubah aslinya hancur pada tahun 558 setelah gempa bumi dan diganti pada tahun 563. Procopius, sejarawan istana Justinianus, menggambarkannya sebagai “kubah emas yang digantung dari surga.”
Hagia Sophia setelah Ikonoklasme
Ikonoklasme yang melanda Kekaisaran Bizantium antara tahun 730 dan 843 menghapus sebagian besar citra keagamaan Hagia Sophia. Pembentukan kembali pemujaan ikon memberi kesempatan untuk program dekorasi baru berdasarkan teologi gambar baru. Mosaik baru ditempatkan di gereja pada masa pemerintahan Basil I dan Leo VI.
Gambar pertama yang diperkenalkan adalah Perawan dan Anak sekitar tahun 867. Berikutnya adalah figur bapa dan nabi gereja. Sayangnya, hanya beberapa figur dan fragmen yang tersisa hingga hari ini. Tidak lama setelah kematian Leo VI, mosaik kaisar yang berlutut di hadapan Kristus yang bertahta dibuat. Di salah satu pintu masuk barat daya adalah mosaik dengan Perawan Maria menggendong Anak Kristus. Dalam mosaik itu, kaisar Konstantinus dan Justinianus mengapit keduanya. Mosaik ini menyoroti kepercayaan Bizantium pada Perawan Maria sebagai pelindung kota.
Pada tahun-tahun memudarnya dinasti Makedonia, sebuah mosaik baru ditambahkan ke galeri selatan. Awalnya, itu menggambarkan Permaisuri Zoe dan suami pertamanya, Romanos III. Gambar Romanos diganti antara 1042 dan 1055 dengan potret suami ketiga Zo, kaisar Konstantinus IX Monomachos. Kedua versi memperingati dua sumbangan kekaisaran yang berbeda kepada gereja.
“Detail menarik lainnya dari periode ini adalah prasasti rune Nordik yang ditemukan di galeri,” tutur Dusan Nicolic di laman The Collector. Satu-satunya bagian yang dapat dibaca dari prasasti rahasia adalah nama “Halvdan”.
Dinasti Komnenos
Pada akhir abad ke-11, dinasti Komnenos naik ke tampuk kekuasaan, mengakhiri periode kemunduran dan perselisihan. Meski kepemimpinan terus berganti, Gereja Agung Justianus tetap dikerjakan dan para penguasa baru bergantian menghiasinya.
Kaisar John II Komnenos, bersama istrinya Irene dan putranya Alexios, mendanai pemugaran gereja. “Ini dibuktikan dari potret mereka di galeri selatan,” tambah Nicolic. Potret-potret ini menunjukkan hubungan Hagia Sophia dengan kultus Kaisar. Galeri selatan gereja dimaksudkan untuk keluarga kekaisaran dan pengadilan selama liturgi. Hanya pejabat kekaisaran tertinggi yang diizinkan masuk ke galeri. Maka potret ini dimaksudkan untuk mengingatkan mereka akan legitimasi dan kesalehan dinasti Komnenos.
Setelah Tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Hagia Sophia diubah menjadi katedral Katolik. Fungsi ini terus berlangsung sampai reklamasi kota pada tahun 1261. Mengikuti praktik Bizantium, Baldwin I dari Konstantinopel dimahkotai sebagai Kaisar Latin pertama di Hagia Sophia. Pemimpin Sack of Constantinople, Doge of Venice Enrico Dandolo, dimakamkan di dalam gereja. Namun makamnya kemudian dihancurkan ketika gereja diubah menjadi masjid.
Dinasti Palaeologus dan runtuhnya Konstantinopel
Pada tahun 1261, ibu kota direklamasi, Michael VIII Palaeologus dimahkotai sebagai kaisar. Perubahan ini turut memengaruhi Hagia Sophia yang akhirnya diubah kembali menjadi gereja Ortodoks.
Pemerintahan Latin merusak banyak gereja, sehingga Bizantium memulai kampanye restorasi besar-besaran. Mungkin atas perintah Michael VIII, sebuah mosaik baru yang monumental dipasang di galeri selatan. Mosaik itu terdiri dari Kristus di tengah diapit oleh Perawan Maria dan Yohanes Pembaptis.
Di masa ini, Hagia Sophia menekankan kembali fungsi pentingnya. Di sini kaisar yang sah dimahkotai. Pada tahun 1346, John Kantakouzenos memproklamirkan dirinya sebagai kaisar dan dimahkotai oleh Patriark Yerusalem.
Meski sudah menjadi kaisar, John perlu dimahkotai di Hagia Sophia agar bisa dianggap sebagai kaisar yang sah. Setelah memenangkan perang saudara dengan John V, Kantakouzenos dimahkotai di Hagia Sophia oleh patriark Ekumenis pada tahun 1347.
Gereja Besar mengikuti nasib kekaisaran dan kondisinya menurun pada abad terakhir sebelum jatuhnya Konstantinopel.
Pada hari-hari terakhir kekaisaran, mereka yang tidak bisa melawan penjajah Ottoman mencari perlindungan di Hagia Sophia. Semua berkumpul untuk berdoa dan mengharapkan perlindungan dan keselamatan.
Masjid Agung yang dijaga oleh sultan
Setelah penaklukan kota oleh Mehmet II pada tahun 1453, Hagia Sophia diubah menjadi masjid. Status ini dipegangnya sampai jatuhnya Kekaisaran Ottoman pada awal abad kedua puluh.
Selama periode Ottoman, menara dibangun di sekeliling kompleks bangunan, mosaik Kristen ditutupi dengan kapur. “Penopang eksterior ditambahkan untuk dukungan struktural,” Nicolic menambahkan.
Hagia Sophia menjadi milik pribadi sultan Ottoman dan memiliki tempat khusus di antara masjid-masjid Konstantinopel. Tidak ada perubahan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan sultan, termasuk penghancuran mosaik-mosaik yang sudah ada.
Pada abad ke-19, Sultan Abdulmejid I memerintahkan restorasi ekstensif Hagia Sophia antara tahun 1847 dan 1849. Pengawasan tugas besar ini diserahkan kepada dua bersaudara arsitek Swiss-Italia, Gaspard dan Giuseppe Fossati. Pada saat ini, delapan medali raksasa baru yang dirancang oleh kaligrafer Kazasker Mustafa Izzet Efendi digantung di bangunan. Medali ini bertuliskan nama Allah, Muhammad, Rashidun, dan dua cucu Muhammad: Hasan dan Husain.
Baca Juga: Hagia Sophia, Wajah Harmoni Peradaban Umat Manusia dalam Budaya Turki
Baca Juga: Benarkah Lupa Mengunci Gerbang Jadi Penyebab Kejatuhan Konstantinopel?
Baca Juga: Negara Terkuat, Bagaimana Para Sultan Membangun Kekaisaran Utsmaniyah?
Baca Juga: Praktik Politik Gelar Keturunan Nabi Muhammad Era Ottoman Turki
Hagia Sophia tidak hentinya mengalami perubahan. Tahun 1935, pemerintah Turki melakukan sekularisasi bangunan, mengubahnya menjadi museum, dan mosaik asli dipulihkan. Upaya besar telah dilakukan untuk penelitian dan restorasi monumen besar ini. Tahun 1931, Mustafa Kemal Atatürk, presiden pertama Republik Turki, mengizinkan Institut Bizantium Amerika untuk mengungkap dan memulihkan mosaik aslinya.
Karya-karya Institut dilanjutkan ke tahun 1960-an oleh Dumbarton Oaks. Pemugaran mozaik Bizantium terbukti menjadi tantangan khusus. “Karena itu berarti penghapusan seni Islam bersejarah,” imbuh Nicolic. Pada tahun 1985, bangunan ini diakui oleh UNESCO sebagai mahakarya arsitektur unik dari budaya Bizantium dan Ottoman.
Hagia Sophia memegang status museum hingga 2020 ketika pemerintah Turki mengubahnya kembali menjadi masjid. Hal ini menimbulkan pro dan kontra akan efek dari perubahan ini. Sekarang, bangunan yang terus mengalami perubahan sepanjang sejarahnya digunakan oleh umat Islam untuk doa dan praktik keagamaan lainnya. Mengikuti aturan yang sudah ditetapkan, pengunjung bisa menikmati keindahan Hagia Sofia, bangunan monumental yang kubahnya menaungi tiga agama.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo