Percaturan Bisnis Dagang VOC di Asia Pada Awal Kemunculannya

By Galih Pranata, Senin, 8 Agustus 2022 | 07:00 WIB
Lambang kebesaran VOC dan Batavia karya Jeroni­mus Becx, 1651. Lambang VOC menampilkan kapal dagang berlayar; di sebelah kiri adalah Dewa Neptunus, di sebelah kanan adalah Dewi Laut, Amphitrite. Sementara itu lambang Batavia menampilkan pedang bermahkota daun laurel; diapit dua singa. (Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda)

Nationalgeographic.co.idVerenigde Oost-Indische Compagine atau VOC merupakan satu-satunya entitas Eropa yang diizinkan untuk berdagang langsung di Asia, khususnya di Nusantara, India dan Jepang.

Sejarah kemunculan VOC menandai adanya percaturan bisnis dagang Kerajaan Belanda di Asia. Dimulai pada tahun 1595, sebuah sindikat yang terdiri dari sembilan saudagar Amsterdam mengirim armada kapal pertama mereka ke Timur.

Tujuannya adalah "membangun bisnis yang menguntungkan dari impor langsung rempah-rempah Asia yang mahal," tulis Ota Atsushi kepada Nippon berjudul The Dutch East India Company and the Rise of Intra-Asian Commerce yang terbit 18 September 2013.

"Tidak lama setelah pelayaran ini menunjukkan potensi komersial dari usaha semacam itu, yang lain mulai ikut-ikutan," tambah Ota, seorang mahasiswa Jepang yang telah melakukan riset tentang arsip VOC.

Hampir 20 sindikat dagang Belanda berlomba-lomba mengimpor pala, fuli, dan cengkeh dari Maluku (yang juga dikenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah) di kepulauan Indonesia.

Khawatir bahwa persaingan domestik yang berlebihan akan menurunkan laba, pemerintah Belanda pada tahun 1602 menggabungkan kelompok-kelompok ini menjadi satu perusahaan sewaan, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

VOC mendirikan pos permanen pertamanya pada tahun 1603 di Banten di Jawa Barat. Pada 1605, ia membangun sebuah benteng di Ambon di Maluku.

Lukisan yang menggambarkan kapal Hindia Timur Belanda dari perusahaan dagang VOC menerjang lautan lepas sebelum akhirnya karam. (Dawlish Chronicles)

"Ia melawan saingan komersialnya dari Inggris, Spanyol, dan Portugal, sementara secara bertahap memperkuat kontrol atas penduduk asli melalui kombinasi kekuatan militer dan manipulasi politik," tegas Ota dalam tulisannya.

VOC ingin meningkatkan produksi rempah-rempah lokal yang berharga, dengan mencoba penanaman paksa di beberapa daerah. Akan tetapi, mereka segera menyadari bahwa insentif ekonomi diperlukan.

"Dengan pemikiran ini, ia mulai mengimpor komoditas dengan permintaan tinggi di antara penduduk pulau," pungkasnya.