Nationalgeographic.co.id - Healing, begitulah sebutan untuk tren orang-orang yang menyempatkan waktu untuk beristirahat dari aktivitas sepekan. Tiap orang punya cara healing-nya masing-masing sebagai penyembuhan dari psikis yang karut karena aktivitasnya. Salah satu yang mujarab, paling disenangi, dan disarankan, adalah pergi jalan-jalan menikmati alam.
Pemandangan indah dan udara segar terasa seperti memberi energi untuk kita, meski kita sebenarnya hanya berdiam menikmatinya saja. Laporan sebelumnya pun membuktikan bahwa kegiatan luar ruangan berbasis alam bisa menyebabkan peningkatan suasana hati, memberi emosi positif, dan mengurangi kecemasan.
Di sisi lain, sekelompok para peneliti mencari tahu bagaimana alam bisa memberikan manfaat lain non-materi, di luar air bersih, makanan, dan bahan baku bermanfaat, untuk kesejahteraan. Kuncinya ternyata adalah hubungan manusia dengan alam.
Untuk mencari tahu jawabannya, para peneliti dari berbagai bidang di University of Tokyo mengidentifikasi bagaimana kontribusi nonmaterial alam bisa memengaruhi kesejahteraan manusia. Penelitian itu diterbitkan di Science Advances berjudul Linking the nonmaterial dimensions of human-nature relations and human well-being through cultural ecosystem services pada 5 Agustus 2022.
Manfaat nonmateri ini disebut sebagai jasa ekosistem budaya (CES). Sudah banyak ilmuwan yang mengeksplorasi hubungan antara alam dan kesejahteraan manusia. Penelitian ini menggunakan meotde yang berfokus pada demografi dan tempat yang berbeda.
Lam Huynh dari program pascasarjana Sustainability Science di Univeristy Tokyo dan rekan-rekannya membaca literatur terhadap 301 artikel akademik yang membahas CES. Dari sana, mereka mengidentifikasi adanya ratusan tautan hubungan antara manusia dan CES.
"Kami mengidentifikasi 227 hubungan unik antara satu CES (seperti rekreasi atau nilai estetika) dan satu konstituten kesejahteraan manusia (seperti keterhubungan, spiritualitas, atau kesehatan)," ujar Huynh, dikutip dari rilis pers University of Tokyo. "Kami tahu bahwa ada banyak keterikatan, tetapi kami terkejut saat menemukan ternyata ada begitu banyak jumlahnya."
Baca Juga: Menyuarakan Suara Kebijakan, Manusia, dan Alam Melalui Fotografi
Baca Juga: Menguak Misteri Pemenggalan Kepala Manusia di Lembah Nahanni
Baca Juga: Menghabiskan Waktu di Alam Dapat Menyembuhkan Trauma
Baca Juga: Cara Terbaik dan Murah Menjaga Kesehatan Anak: Bermain di Luar Ruangan
Lebih rincinya, mereka mengidentifikasi 16 'mekanisme' atau jenis hubungan unik yang mendasar antara manusia dan CES. Semuanya mengacu pada berbagai cara interaksi manusia dengan alam yang memengaruhi kesejahteraan mereka.
Mekanisme ini membuat beragam jenis interaksi manusia dan CES. Misalnya, dalam makalah mereka menyebutkan, bisa jadi ada interaksi positif lewat mekanisme "kohesif (padu)", "kreatif", dan "formatif", tetapi di sisi lain juga ada interaksi negatif lewat mekanisme "iritatif" dan "destruktif".
Para peneliti menjelaskan, kontribusi negatif terhadap kesejahteraan manusia muncul karena adanya degradasi atau hilangnya nilai CES, dan lewat 'kerugian' ekosistem. Contohnya, bising suara satwa liar di malam hari ternyata bisa memengaruhi kesehatan mental beberapa orang secara khusus. Akan tetapi, bising ini punya kontribusi positif tertinggi dari CES untuk kesehatan mental dan fisik yang dihasilkan terutama dalam rekreasi, pariwisata, dan nilai estetika.
"Sangat menarik untuk dicatat bahwa jalur dan mekanisme yang diidentifikasi daripada memengaruhi kesejahteraan manusia secara mandiri, sering kali berinteraksi dengan kuat," tutur Alexandros Gasparatos, rekan penulis dan profesor di Institute for Future Initiatives (IFI) University of Tokyo.
"Ini dapat menciptakan pertukaran negatif dalam konteks tertentu, tetapi juga sinergi positif yang penting yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia."
Namun, dari 227 hubungan unik, para peneliti yakin bahwa mungkin masih ada banyak lagi yang belum teridentifikasi. "Kami berhipotesis bahwa jalur dan mekanisme yang hilang dapat hadir di komunitas yang bergantung pada ekosistem, dan terutama komunitas tradisional dan penduduk asli, mengingat hubungan mereka yang sangat unik dengan alam," terang Gasparatos.
"Kesenjangan pengetahuan lain yang kami identifikasi adalah bahwa literatur yang ada tentang dimensi nonmaterial dari hubungan manusia-alam ini terutama berfokus pada kesejahteraan individu daripada kesejahteraan kolektif (komunitas)," jelas Huynh. "Kesenjangan yang signifikan ini menghalangi kapasitas kami untuk mengidentifikasi kemungkinan sinergi dan pertukaran dalam penelitian dan praktik pengelolaan ekosistem."