Serangan Komunis Meresahkan Pakubuwana X dan Aristokrasi Surakarta

By Galih Pranata, Senin, 15 Agustus 2022 | 12:00 WIB
Mobil Benz Victoria dari Eropa milik Pakubuwana X yang jadi saksi bisu lemparan bom oleh oknum radikalis di Surakarta pada 1923. (Wikimedia Commons)

Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama Sri Sultan Hamengkubuwana VII, KGPAA. Paku Alam VII, dan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta di Keraton Surakarta. (Tropenmuseum)

Sore hari tanggal 18 Oktober 1923, sebuah bom dijatuhkan di sekitar alun-alun utara di dekat mobil menantu sunan (sultan). Seorang pria desa, yang pada awalnya dikira sebagai pelaku, terluka di bagian tumit segera dibekuk. Namun, ia bukanlah pelakunya.

Akibat pelaku masih terus berkeliaran, pada malam 18 Oktober 1923, Pangeran Adipati Arya X mendengar ledakan keras di luar gedung Astana Mangkunegaran. Dari hasil investigasi ditemukan batu yang diduga bom telah dijatuhkan.

Beberapa hari menjelang, di sore hari tanggal 20 Oktober, sebuah bom yang serupa dijatuhkan di Mangkunegaran, dilempar ke mobil Pakubuwana X. Beruntung, bom itu tidak meledak.

   

Baca Juga: Dari Rumah Sakit Orang Eropa, Ziekenzorg di Surakarta Melintang Zaman

Baca Juga: Kemeriahan Karnaval Hari Jadi Pakubuwana X di Sriwedari Tahun 1917

Baca Juga: Raden Mas Said dalam Pertikaiannya dengan Mangkubumi dan Pakubuwana

     

Setelah sejumlah serangan, pasukan khusus dan detektif mulai dikerahkan. Sayangnya, serangan komunis itu berlanjut pada malam hari tanggal 23 Oktober 1923. Kobaran api hampir membakar rumah onderdistriktshoofd—setara camat—Pasar Kliwon. Api akhirnya secara cepat dipadamkan.

Upaya penangkapan akhirnya berhasil dilakukan. Pada 7 November, upaya pembakaran sejumlah pemuda misterius akhirnya bisa digagalkan oleh salah satu detektif di daerah Pajang.

Menariknya, meski beberapa 'geng' sudah dapat dibekap kepolisian, masih terjadi penyerangan lagi sebelum akhirnya mereda begitu saja. Tanggal 8 November 1923 menjadi serangan terakhir.

Ditemukan pembakaran di gudang Wirjoatmodjo, seorang konglomerat dan saudagar batik di Laweyan yang merugi. Namun, selepas kejadian ini, tidak tercatat lagi sejumlah kericuhan sampai ditutupnya berita pada Desember 1923.