Serangan Komunis Meresahkan Pakubuwana X dan Aristokrasi Surakarta

By Galih Pranata, Senin, 15 Agustus 2022 | 12:00 WIB
Mobil Benz Victoria dari Eropa milik Pakubuwana X yang jadi saksi bisu lemparan bom oleh oknum radikalis di Surakarta pada 1923. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Membaca situasi politik di Surakarta pada tahun 1923, memunculkan kisah tentang kerusuhan yang terjadi pada tahun-tahun genting itu. Keluarga kerajaan dan aristokrasi jadi incaran!

Sebagaimana berita-berita Belanda yang terbit di tahun itu, memberitakan tentang sejumlah kekacauan yang ditimbulkan. Dari De Semarangsche Locomotief yang mengeluarkan berita di awal oktober 1923, hingga Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij pada Desember 1923 turut memberitakan sejumlah kekacauan.

Koresponden dari Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij merangkum sejumlah laporan dalam berita berjudul Branden en Bommen in Indië: Kommunistische aktie yang terbit 31 Desember 1923.

Ia menyebut sejumlah kekacauan di Surakarta sepanjang bulan September hingga November 1923 telah diketahhui pihak kepolisian Hindia Belanda. "Sekelompok 'geng' telah membuat keonaran," tulisnya.

'Geng' yang disinyalir membuat keonaran itu disebut oleh koresponden berkebangsaan Belanda dari De Semarangsche Locomotief adalah "sekelompok komunis."

Serangan yang paling awal digencarkan kepada aristokrasi—kalangan tertinggi dalam kelas sosialSurakarta dimulai dari temuan pembakaran gudang de Burgerlijke Openbare Werken atau gudang Pekerjaan Umum Sipil. 

Serangan yang dilancarkan sekelompok radikalis ini dilaporkan terjadi pada 19-20 September 1923. Dari kebakaran itu, kerugian yang dialami mencapai f.8000 (gulden).

Belum habis, sejumlah oknum itu juga dilaporkan terlihat pada sore hari tanggal 21 September 1923. Mereka membakar gudang-gudang pameran di Aloon-aloon (alun-alun Utara Keraton Surakarta). Kerusakan diperkirakan hingga f.9000.

Setelah aksi pembakaran itu, pihak kepolisian Hindia Belanda mulai berjaga dengan ketat. Begitupun para polisi militer kraton. Namun, serangan kembali terjadi di tempat yang tak terduga.

Pada malam 24 hingga 25 September 1923, terjadi kebakaran di rumah-rumah Wirjopaniro, kamitoewa—kepala dukuh dalam administrasi perdesaan zaman Hindia Belanda di Jawa—kampung Undaan dan Ong Ting Wat di Laweyan.

Setelah sejumlah kerusuhan bulan itu, tidak dilaporkan lagi sejumlah kekacauan yang meresahkan aristokrasi Surakarta.

Barulah pada tanggal 16 hingga 17 Oktober tercatat upaya pembakaran rumah Raden Askander, seorang pejabat di Landraad (Pengadilan tinggi Indlanders—pribumi) yang akhirnya berhasil digagalkan meski pelaku belum dapat ditangkap.

Sri Susuhunan Pakubuwana X bersama Sri Sultan Hamengkubuwana VII, KGPAA. Paku Alam VII, dan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta di Keraton Surakarta. (Tropenmuseum)

Sore hari tanggal 18 Oktober 1923, sebuah bom dijatuhkan di sekitar alun-alun utara di dekat mobil menantu sunan (sultan). Seorang pria desa, yang pada awalnya dikira sebagai pelaku, terluka di bagian tumit segera dibekuk. Namun, ia bukanlah pelakunya.

Akibat pelaku masih terus berkeliaran, pada malam 18 Oktober 1923, Pangeran Adipati Arya X mendengar ledakan keras di luar gedung Astana Mangkunegaran. Dari hasil investigasi ditemukan batu yang diduga bom telah dijatuhkan.

Beberapa hari menjelang, di sore hari tanggal 20 Oktober, sebuah bom yang serupa dijatuhkan di Mangkunegaran, dilempar ke mobil Pakubuwana X. Beruntung, bom itu tidak meledak.

   

Baca Juga: Dari Rumah Sakit Orang Eropa, Ziekenzorg di Surakarta Melintang Zaman

Baca Juga: Kemeriahan Karnaval Hari Jadi Pakubuwana X di Sriwedari Tahun 1917

Baca Juga: Raden Mas Said dalam Pertikaiannya dengan Mangkubumi dan Pakubuwana

     

Setelah sejumlah serangan, pasukan khusus dan detektif mulai dikerahkan. Sayangnya, serangan komunis itu berlanjut pada malam hari tanggal 23 Oktober 1923. Kobaran api hampir membakar rumah onderdistriktshoofd—setara camat—Pasar Kliwon. Api akhirnya secara cepat dipadamkan.

Upaya penangkapan akhirnya berhasil dilakukan. Pada 7 November, upaya pembakaran sejumlah pemuda misterius akhirnya bisa digagalkan oleh salah satu detektif di daerah Pajang.

Menariknya, meski beberapa 'geng' sudah dapat dibekap kepolisian, masih terjadi penyerangan lagi sebelum akhirnya mereda begitu saja. Tanggal 8 November 1923 menjadi serangan terakhir.

Ditemukan pembakaran di gudang Wirjoatmodjo, seorang konglomerat dan saudagar batik di Laweyan yang merugi. Namun, selepas kejadian ini, tidak tercatat lagi sejumlah kericuhan sampai ditutupnya berita pada Desember 1923.