Menelusuri Sejarah Rumah Lay, Cahaya Mutiara dari Pulau Bangka

By Agni Malagina, Senin, 15 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Mingky Listiyadhi sedang menyalakan lilin altar Lay. Altar ini diduga didatangkan oleh Lay Nam Sen pada tahun 1894. (Agni Malagina)

Sama dengan ayahandanya, Lay Nam Sen juga memiliki gelar 'rulinlang'. Nam Sen bahkan sempat menjadi opsir Tionghoa berpangkat Kapitan untuk wilaya Koba pada tahun 1892 hingga tahun 1894. Koba terletak di sebelah selatan Pangkalpinang, berjarak 60 km. Pada era generasi ke dua Lay ini diduga bahwa keluarga Lay memiliki pengaruh dan kekuasaan yang terwujud dalam bangunan rumah tinggal dan area kediaman yang juga memiliki pelabuhan bongkar muat barang di bantaran sungai belakang rumah mereka.

Lay Djit Siong (1885 – 1962) – putra Lay Nam Sen, cucu Lay Feng Joe – memuliakan rumah keluarga Lay dengan melanjutkan bisnis yang dirintis dan dikelola oleh kakek dan ayahandanya. Awal abad 20 merupakan era pembangunan Pangkalpinang oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bertujuan menata pusat kota tambang timah Bangka dengan sarana prasarana infrastruktur modern seperti jaringan jalan dan drainase termasuk fasilitas publik. Perusahaan Lay Djit Siong – NV Meby – pun terlibat dalam modernisasi kota. Lay Djit Siong pengusaha yang dikenal sebagai pemilik properti restoran North Pole, tiga gedung bioskop Surya, Garuda, Banteng di Pangkalpinang dan beberapa bioskop di Pulau Bangka.

Tampak depan Rumah Lay yang telah menjadi salah satu daya tarik wisata Kota Pangkalpinang, Bangka. (Agni Malagina)

Kenangan akan Rumah Keluarga Lay dalam benak Minky dan Hongky Lie seolah gambaran adegan film layar lebar berlatar sejarah penambangan timah dan lada terbaik di dunia!

“Rumah ini jaman kakek buyut dan kakek pasti sering didatangi pejabat Belanda dan menyambut banyak tamu untuk pesta. Pesta ceki minimum 50 meja, dengan 4 kursi permeja, artinya ada 200 orang! Mulai dari jam 10 atau 11 pagi sampai maghrib,”ujar Mingky. 

"Jadi tahun 1960an rumah ini rame buat ceki. Nah tempat terbesar buat main ceki ada di Rumah Lay,” ujar Mingky terkekeh. Ya, meja dan kursi saksi kegiatan itu masih terawatt di lantai dua Rumah Lay. Karena Rumah Lay sering mengadakan pesta dan menyambut tamu, kerabat dan handai taulan, memori tentang dapur pun menjadi kisah yang menarik!

“Tungku di rumah ini ada 6 buah, alat masak super duper besar dan banyak lo. Pesta ulang tahun semua pakai maen ceki, pesta dokter-dokter di Bangka Belitung ke sini, semua dokter kenal Papa,” ujar Hongky. Ya ayah dari Hongky Lie adalah putra dari pasangan Lie Eng Seng (ahli laboratorium RS Bakti Timah) dan Tjoeng Soei Ngiat (perawat RS Bakti Timah).

 “Oven listrik barang yang paling mewah di dapur. Dari dapur rumah ini keluar masakan peranakan (Tionghoa) dan masakan Belanda. Roti isi ragut, roti peranakan diisi ragut, dipanggang itu menu yang kita buat di restoran ini (La Terrase). Terus ada makaroni skotel, huzaren sla pake bit, pastel tutup dipanggang pakai pirex,"ujar Hongky. 

"Kalay Imlek, Mama bikin makanan, makan bareng abis sembayang. Ada daging dan sayur. Ada citong dimasak sup pakai tongcay choiphu, rutin ya setiap tahun. Dulu waktu Mama masih hidup,"kenang Hongky.

"Pernah juga ada pesta disko. Kita beli peralatan beli sendiri, lampu, speaker bikin lo. Pakai reel untuk mixer lagu. Lagu-lagunya macem-macem kaya Greasenya John Travolta. Juga lagu disko 1970an kaya Tetty Kadi, Titiek Puspa," imbuh Mingky. 

Sanggar kerja Batik Kampung Katak berada di area kediaman Hongky Listiyadhi ini kerap melakukan kegiatan workshop membantik. (Agni Malagina)

Mingky dan Hongky sehari-hari bergiat di Rumah Lay. Bahkan istri Hongky Lie membuka gerai pamer batik Kampung Katak yang didirikan pada awal 2015. Endang Sri Hastuti mengaku memulai kerajinan kriya batik karena terinspirasi dari motif-motif Rumah Lay,” sejak menikah saya tinggal di rumah (Lay) ini, saya muslim dan hidup berdampingan dengan keluarga Lay yang berbudaya Tionghoa dan nonmuslim, anak-anak juga besar di sini. Di rumah ini ya saya menyaksikan Imlekan, ya saya dan suami juga Lebaran.”