Menelusuri Sejarah Rumah Lay, Cahaya Mutiara dari Pulau Bangka

By Agni Malagina, Senin, 15 Agustus 2022 | 13:00 WIB
Mingky Listiyadhi sedang menyalakan lilin altar Lay. Altar ini diduga didatangkan oleh Lay Nam Sen pada tahun 1894. (Agni Malagina)

 

Nationalgeographic.co.id—Sepenggal kisah rumah pusaka di Jalan Sudirman Pangkalpinang, Pulau Bangka di kawasan Kampung Katak. Kita bisa menjumpai sebuah rumah bergaya tradisional Melayu dengan paduan langgam Tionghoa dan Eropa yang dijuluki House of Lay—atau Rumah Keluarga Lay. 

Salah satu daya tarik kota Pangkalpinang ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No.65. Ia berdiri gagah megah di atas tanah seluas 11.000 meter persegi. Bangunan ini pun menjadi wajah sebuah hotel ternama di ibukota Provinsi Bangka Belitung. Kesan megah tampak dari besarnya bangunan dan fasadnya. Menurut empunya rumah, bangunan ini didirikan oleh generasi pertama keluarga Lay yang datang ke Pulau Bangka pada awal abad ke-19, yakni Lay Fong Joe. 

Rumah ini menyimpan kenangan keberadaan keluarga Lay, salah satu marga terbanyak di Pangkalpinang bersama marga Tionghoa lainnya yaitu Oen, Tan, Lie dan Ong. Bangunan berlantai dua ini pun menjadi museum hidup tinggalan Lay Feng Joe pada keluarga besarnya yang berkontribusi pada ibukota Provinsi Bangka Belitung.

“Keturunan Lay yang berada di luar Bangka ya akan datang ke sini, ada yang mengenang luluhur, ada yang sembahyang. Altar keluarga masih ada. Lay Bangka ada di mana-mana,” ujar Hongky Listiyadhi atau Lie San Hong (59) cucu luar dan keturunan kelima keluarga Lay.

Ia bersama istri dan kerabat terdekatnya menghidupkan rumah yang kini dimiliki oleh PT. Bangun Mega Lestari dengan pemegang saham yaitu keluarga Lay dan Hendry Lie. Dimulai dari memori Hongky Lie saat hujan turun dini hari pada tahun 2012 membawa Rumah Lay menjalani proses revitalisasinya pada tahun 2014 dengan pendokumentasian, identifikasi kerusakan dan rencana konservasi yang dilakukan oleh Eko Alvarez, Jonny Wongso, Randi Majestica, Rini Affrimayetti.

Proses revitalisasi bangunan Rumah Lay mulai digarap tahun 2016, dilaksanakan oleh konsultan arsitek Danang Triatmoko (DHDT Architect). Pada akhir tahun 2018, Rumah Lay mulai beroperasi sebegai House of Lay yang berfungsi sebagai Rumah Marga Lay. Rumah ini pun terdiri dari beberapa unit bisnis yaitu Kafe La Terrase, kerajinan Batik Kampung Katak, dan perhotelan.

“Kita pertahankan sebanyak mungkin dan rumah ini bisa ngidupin dirinya sendiri,” ujar Hongky.

Menurut Hongky Lie, rumah ini dibangun oleh Lay Feng Joe atau Lay Sioe Long yang datang ke Bangka sekitar tahun 1830 dan diduga merintis bisnis dagang. Walaupun ia tak menjabat sebagai opsir Tionghoa, ia menyandang gelar rulinlang, sebuah gelar kehormatan yang diberikan oleh Kaisar Tiongkok kepada para Mandarin (pejabat) kekaisaran serta orang-orang yang dianggap berjasa bagi pemerintah Dinast Qing. Tak banyak yang mengetahui atau bahkan menemukan jenis gelar ini pada makam-makam Tionghoa di Nusantara! 

Gelar rulinlang merupakan gelar setara dengan pejabat kekaisaran tingkat 6 dari 9 pemeringkatan strata pejabat sipil dan militer. Gelar ini biasanya diberikan dengan mandat Kaisar kepada kaum cendikiawan yang merupakan anak dari kaum gentry atau kaum terpelajar/cedikiawan Konfusian yang telah menduduki jabatan tingkat 1-5. 

Selain itu nisan Feng Joe mencatat gelar Rulinlang Houxuan Zhilizhou Fenzhou yang menunjukkan bahwa pemilik gelar ini adalah pejabat kekaisaran tangkat enam yang memimpin daerah administratif kekaisaran di luar Tiongkok. Dalam nisannya tertera bahwa Feng Joe meninggal pada usia 54 tahun (tidak diketahui informasi kelahiran dan kapan ia wafat).

Lay Sioe Long menikah dengan Tjoeng Djin Moei, adik perempuan Tjoeng Jung Fong atau Tjoeng A Thiam. Tjoen A Thiam adalah Mayor Tionghoa di Mentok yang menjadi Kapiten Tionghoa mulai tahun 1879 hingga mengundurkan diri tahun 1886 lalu diberi gelar Mayor Titulair sampai meninggalnya tahun 1895. Dari pernikahannya dengan Djin Moi, Lay Sioe Long memiliki sembilan anak. Tiga diantaranya menjadi opsir Tionghoa di Bangka. 

Lay Feng Joe kemudian mewariskan rumah kediamannya kepada Lay Nam Sen untuk kemudian keturunan Lay Nam Sen yang kini merawat rumah ini. Ya, cucu luar dari keluarga Lay lah yang kini menghidupkan Rumah Lay, diantaranya adalah Lie San Ming (Mingky Listiyadhi), Lie San Lie (Saly LIstiyadhi), Lie San Hong (Hongky Listiyadhi), Lie San Kie (Kieky Listiyadhi). Mereka tak sendiri, keluarga Lay yang lain turut berperan secara tak langsung. 

Sama dengan ayahandanya, Lay Nam Sen juga memiliki gelar 'rulinlang'. Nam Sen bahkan sempat menjadi opsir Tionghoa berpangkat Kapitan untuk wilaya Koba pada tahun 1892 hingga tahun 1894. Koba terletak di sebelah selatan Pangkalpinang, berjarak 60 km. Pada era generasi ke dua Lay ini diduga bahwa keluarga Lay memiliki pengaruh dan kekuasaan yang terwujud dalam bangunan rumah tinggal dan area kediaman yang juga memiliki pelabuhan bongkar muat barang di bantaran sungai belakang rumah mereka.

Lay Djit Siong (1885 – 1962) – putra Lay Nam Sen, cucu Lay Feng Joe – memuliakan rumah keluarga Lay dengan melanjutkan bisnis yang dirintis dan dikelola oleh kakek dan ayahandanya. Awal abad 20 merupakan era pembangunan Pangkalpinang oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bertujuan menata pusat kota tambang timah Bangka dengan sarana prasarana infrastruktur modern seperti jaringan jalan dan drainase termasuk fasilitas publik. Perusahaan Lay Djit Siong – NV Meby – pun terlibat dalam modernisasi kota. Lay Djit Siong pengusaha yang dikenal sebagai pemilik properti restoran North Pole, tiga gedung bioskop Surya, Garuda, Banteng di Pangkalpinang dan beberapa bioskop di Pulau Bangka.

Tampak depan Rumah Lay yang telah menjadi salah satu daya tarik wisata Kota Pangkalpinang, Bangka. (Agni Malagina)

Kenangan akan Rumah Keluarga Lay dalam benak Minky dan Hongky Lie seolah gambaran adegan film layar lebar berlatar sejarah penambangan timah dan lada terbaik di dunia!

“Rumah ini jaman kakek buyut dan kakek pasti sering didatangi pejabat Belanda dan menyambut banyak tamu untuk pesta. Pesta ceki minimum 50 meja, dengan 4 kursi permeja, artinya ada 200 orang! Mulai dari jam 10 atau 11 pagi sampai maghrib,”ujar Mingky. 

"Jadi tahun 1960an rumah ini rame buat ceki. Nah tempat terbesar buat main ceki ada di Rumah Lay,” ujar Mingky terkekeh. Ya, meja dan kursi saksi kegiatan itu masih terawatt di lantai dua Rumah Lay. Karena Rumah Lay sering mengadakan pesta dan menyambut tamu, kerabat dan handai taulan, memori tentang dapur pun menjadi kisah yang menarik!

“Tungku di rumah ini ada 6 buah, alat masak super duper besar dan banyak lo. Pesta ulang tahun semua pakai maen ceki, pesta dokter-dokter di Bangka Belitung ke sini, semua dokter kenal Papa,” ujar Hongky. Ya ayah dari Hongky Lie adalah putra dari pasangan Lie Eng Seng (ahli laboratorium RS Bakti Timah) dan Tjoeng Soei Ngiat (perawat RS Bakti Timah).

 “Oven listrik barang yang paling mewah di dapur. Dari dapur rumah ini keluar masakan peranakan (Tionghoa) dan masakan Belanda. Roti isi ragut, roti peranakan diisi ragut, dipanggang itu menu yang kita buat di restoran ini (La Terrase). Terus ada makaroni skotel, huzaren sla pake bit, pastel tutup dipanggang pakai pirex,"ujar Hongky. 

"Kalay Imlek, Mama bikin makanan, makan bareng abis sembayang. Ada daging dan sayur. Ada citong dimasak sup pakai tongcay choiphu, rutin ya setiap tahun. Dulu waktu Mama masih hidup,"kenang Hongky.

"Pernah juga ada pesta disko. Kita beli peralatan beli sendiri, lampu, speaker bikin lo. Pakai reel untuk mixer lagu. Lagu-lagunya macem-macem kaya Greasenya John Travolta. Juga lagu disko 1970an kaya Tetty Kadi, Titiek Puspa," imbuh Mingky. 

Sanggar kerja Batik Kampung Katak berada di area kediaman Hongky Listiyadhi ini kerap melakukan kegiatan workshop membantik. (Agni Malagina)

Mingky dan Hongky sehari-hari bergiat di Rumah Lay. Bahkan istri Hongky Lie membuka gerai pamer batik Kampung Katak yang didirikan pada awal 2015. Endang Sri Hastuti mengaku memulai kerajinan kriya batik karena terinspirasi dari motif-motif Rumah Lay,” sejak menikah saya tinggal di rumah (Lay) ini, saya muslim dan hidup berdampingan dengan keluarga Lay yang berbudaya Tionghoa dan nonmuslim, anak-anak juga besar di sini. Di rumah ini ya saya menyaksikan Imlekan, ya saya dan suami juga Lebaran.”

“Ketika bikin batik dengan nama Kampung Katak, rumah ini memberikan banyak motif-motif untuk batiknya. Batik yang pertama itu terinspirasi dari motif sarung yang ada di lukisan foto nenek ya. Kain dari Jawa sepertinya,” ujarnya. Endang juga menjelaskan bahwa sanggar kerja batik Kampung Katak berada di kediaman pribadi Endang dan Hongky. Bahkan ia memiliki karyawan difabel.

“Batik Kampung Katak jadi salah satu yang pertama produksi kerajinan ini, ya senang bisa menyerap tenaga kerja, ke depan mau menggali lagi ragam hias di rumah ini untuk motif batik, senang banyak orang ke sini, rumah ini hidup,” pungkasnya.

   

Baca Juga: Arsip 1815: Gemuruh Erupsi Tambora Terdengar Sampai Bangka

Baca Juga: Ko Ngian: Imlek di Bangka, Harapan Baru Buang Debu-Debu yang Kotor

Baca Juga: Cerita Kolong Timah Bangka di Masa Lalu Sampai Masa Sekarang

    

Altar keluarga Lay yang megah penuh simbol aristokrat masih terawat baik. Ia terletak pada ruang tengah bagian belakang da diduga tiba di rumah Lay pada tahun 1894, masa setelah Lay Nam Sen memperbaiki rumah tersebut tahun 1890. Ruang bagian depannya terdapat tulisan Guang Yu Tang. Di Tiongkok, nama ini biasanya digunakan sebagai nama ‘rumah abu’ tempat penanda berkumpulnya klan bermarga tertentu dalam kebudayaan masyarakat Tiongkok. 

Ornamen yang paling terlihat adalah mutiara bulat merah diapit oleh dua ekor naga yang terletak pada bagian paling atas dari altar tersebut. Di masa kekaisaran Tiongkok, perwujudan ornamen “naga mengejar mutiara” ini kerap dipakai sebagai ornamen kebesaran kaisar seperti singgasana, pakaian dan ragam hias benda-benda berharga lainnya. Termasuk menjadi ragam hias pada altar sembahyang dan nisan sebagai simbol kekuatan spiritual menuju keabadian. Dari inskripsi yang terdapat pada kaki altar dapat diketahui bahwa altar tersebut dibuat di Aomen (Kanton), Provinsi Guangdong, Tiongkok oleh perusahaan Chang Liang Cai. 

Rumah keluarga Lay dan altar mutiara tampaknya menjadi simbol usaha bersama keluarga untuk menjaga warisan keluarga yang bernilai. Kilau mutiara dan terangnya cahaya dari Rumah Lay tampaknya akan turut menerangi perjalanan sejarah Pulau Bangka yang pernah menjadi surganya penambang timah dan pemburu rempah lada! 

       

—Kisah ini dinukil dari salah satu bagian buku House of Lay yang ditulis Agni Malagina bersama Nadia Purwestri dan Febriyanti Suryaningsih.