Selain itu, peserta dipindai di MRI ketika mereka tidak melakukan apa-apa.
Hasil menunjukkan bahwa ketika mereka beristirahat, peserta yang mendapat skor lebih tinggi untuk misophonia memang menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara korteks pendengaran dan area kontrol motorik. Ini seperti yang ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya.
Tetapi ketika peserta benar-benar menggunakan mulut mereka untuk menghasilkan suara, wilayah otak yang berbeda aktif. Wilayah ini tidak menunjukkan hubungan yang lebih kuat pada mereka yang memiliki misophonia tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki misophonia rendah.
Baca Juga: Mengapa Berpikir Keras selama Berjam-jam Membuat Kita Lelah?
Baca Juga: Studi Baru: Tidak, Otak Manusia Tidak Menyusut 3.000 Tahun yang Lalu!
Baca Juga: Beratnya Melupakan Mantan, Ternyata Ini yang Terjadi pada Otak Kita
Baca Juga: Gangguan Saraf Baru Ditemukan, Bisa Picu Gangguan Perkembangan Otak
"Jadi penelitian sebelumnya yang diidentifikasi sebagai daerah orofasial - daerah yang terlibat dalam gerakan mulut dan wajah - mungkin sebenarnya bukan daerah orofasial," kata Hansen. "Temuan ini menunjukkan bahwa koneksi otak supersensitif yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya tidak dapat menjelaskan misophonia."
"Tidak ada hubungan sama sekali dengan korteks pendengaran. Hubungan yang penting adalah dengan insula," tegas Hansen.
Hansen mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memahami apa yang menyebabkan misophonia dan bagaimana pengobatannya. Tetapi penelitian ini menunjukkan bahwa penelitian perlu diperluas melampaui asal orofasial.
"Ini membawa kita selangkah lebih dekat untuk memahami banyak cara misophonia muncul dengan sendirinya. Ini menegaskan kepada orang-orang yang tidak mengalami misophonia karena mengunyah tetapi memilikinya untuk suara berulang lainnya," pungkasnya.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo