Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia

By Galih Pranata, Kamis, 25 Agustus 2022 | 09:00 WIB
Potret Fientje de Feniks dalam buku karya Pieter van Zonneveld (1992) seorang pelacur dari rumah bordil milik germo Oemar di Batavia. (Pieter van Zonneveld/De Moord op Fientje de Feniks: een Indische Tragedie (1992))

Nationalgeographic.co.id—Faktor kemiskinan yang mendera kalangan wanita di Batavia menjadi sebagian aspek yang memperuncing narasi cabul dalam historiografi kolonial. Sebut saja kisah Fientje de Feniks yang berujung tragis.

Yayasan untuk Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Ensiklopedia Jakarta: Culture & Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah) yang terbit di tahun 2005. Dalam buku tersebut dikisahkan tentang pilu kehidupan Fientje yang melacur di Batavia.

Dikisahkan pada 17 Mei 1912, sekujur mayat yang membusuk ditemukan mengapung di sluizen (pintu air) kali Baru yang diduga mayat Fientje de Feniks. Agaknya, mayat itu tewas akibat dibunuh.

Ketika mayat Fientje ditemukan, kaki dan tangannya dalam posisi terikat. Pihak kepolisian di Batavia bergegas melakukan investigasi serius untuk mendalami kasusnya.

Menurut Rosihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia (2004), setelah beritanya dimuat di media sosial, masyarakat Batavia yang kepalang gemar membaca cerita cabul, berita seks, kisah penuh sensasi dan kekerasan, meminta kejelasan terhadap kasus pembunuhan Fientje yang menghebohkan.

Polisi akhirnya mendatangi rumah bordil milik germo Oemar untuk mendapatkan sejumlah keterangan dan informasi terkait kasus pembunuhan yang tengah jadi sensasi. 

Rosna, kawan dari Fientje de Feniks, menjadi salah satu informan yang membantu pihak kepolisian untuk mengungkap fakta dan motif di balik isu kematian yang menerpa seorang pelacur di rumah bordilnya tersebut.

Rumah bordil di Jakarta sekitar tahun 1948. (Wikimedia Commons)

Fientje, gadis berumur 19 tahun berdarah Jawa-Belanda itu memiliki pelanggan yang amat setia bernama Gemser Brinkman. Diketahui bahwa Brinkman merupakan seorang Belanda berada sekaligus anggota Sociëteit Concordia yang sohor.

Menurut kesaksian Rosna, ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Brinkmanlah yang telah membunuh Fientje dengan mencekik leher Fientje. Ia mengaku mengintip dari celah dinding bambu kejadian mengerikan itu.

Dalam persidangan, Brinkman membantah adanya dugaan pembunuhan yang ditujukan padanya dan menganggap Rosna telah berbohong. Namun, Rosna sekali lagi meyakinkan jaksa.

   

Baca Juga: Kisah Pilu Aktris di Zaman Romawi, Sering Diperlakukan sebagai Pelacur

Baca Juga: Maiko dan Kisah Pelacuran Perempuan Jepang di Hindia Belanda

Baca Juga: Saatnya Gulungan Arsip VOC Ungkap Losmen Lampu Merah di Batavia

Baca Juga: Kisah Pelacur dan Pelacuran Pada Zaman Perdagangan Jalur Rempah

      

Rosna mengaku: "Tuan, saya seorang perempuan, jadi saya penakut, tapi saya katakan sekali lagi laki-laki itu yang telah melakukan pembunuhan."

Alhasil, Brinkman tersudut dan mengakui kejahatannya. Brinkman yang kerap menyewa jasa Fientje, menyimpan rasa dan hendak dijadikannya nyai. Motif pembunuhannya berlatar rasa cemburu karena Fientje de Feniks masih menerima tamu-tamu lain.

Akhirnya, vonis hukuman gantung dijatuhkan pada Brinkman. Ia merasa tertekan, "bagaimana bisa seorang kulit putih yang kaya harus membayar nyawanya karena membunuh pelacur indo—Fientje de Feniks," tulis Rosihan.

Sebelum eksekusi itu, Brinkman menjadi depresi dan kerap menangis histeris. Sebelum tiba waktu eksekusinya, ia ditemukan mati bunuh diri di kediamannya. Kematiannya diduga akibat depresi berat.

   

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo