"Jadi, pembangunan terkait rendah kerbon [di daerah-daerah] itu masih sebatas itu, belum dikaitkan dengan misalnya dengan aspek-aspek pertanian, apalagi di sektor-sektor yang lebih sophisticated [canggih] seperti energi baru terbarukan dan lain-lain."
Wayan menambahkan bahwa dalam melakukan riset di daerah perlu adanya penyesuaian bahasa dengan masyarakat setempat. "Misalnya di bidang perhutanan sosial, ada beberapa aspek yang kalau kita membahasakan riset di tingkat daerah atau tingkat tapak itu bukan dengan bahasa perubahan iklim. Tapi dengan bahasa kebutuhan mereka sehari-hari," ucapnya.
Ia mencontohkan salah satu riset BRIN di suatu daerah di Sulawesi Selatan. Kebetulan, kebutuhan listrik di daerah itu belum terpenuhi karena belum adanya pasokan listrik. "Kemudian didekati dari pendekatan kebutuhan mereka akan kebutuhan energi listrik. Tapi mereka awalnya tidak tahu bahwa energi listrik [mikrohidro] itu kan dipasok dari debit airnya, dari tanaman. Berarti harus nanam pohon. Nah, secara langsung manfaat tanaman kan selain untuk ke mikrohidro dia juga sebagai penyerap emisi karbon."
"Nah, bahasa-bahasa seperti ini yang dari awal tidak kita sampaikan ke mereka. Tapi riset ini menjawab dulu kebutuhan mereka seperti apa di tingkat tapak," tegas Wayan.
Wayan juga memberi sampel lain, yakni program penamanan kembali wilayah hutan. Program ini sebaiknya memilih jenis-jenis pohon yang tak hanya sesuai dengan jenis lahan atau tanah yang perlu ditanam, tetapi juga sesuai dengan kebetuhan masyarakat setempat. Jadi, program ini bakal terus berlanjut dan mendapat dukungan masyarakat.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo