Sepuluh Topik Riset terkait Perubahan Iklim yang Paling Sering Digarap

By Utomo Priyambodo, Sabtu, 27 Agustus 2022 | 12:00 WIB
Gerakan penanaman tanaman lokal di SMP 4 Selat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, saat Deklarasi (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Setidaknya ada sepuluh topik riset terkait perubahan iklim yang sering digarap oleh para peneliti di seluruh dunia. Hal itu disampaikan oleh I Wayan Susi Dharmawan, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

"Kalau sering melihat dari hasil publikasi di berbagai jurnal ilmiah internasional, nasional, prosiding, maupun laporan teknis, ataupun policy brief dan lain-lain, ada lebih kurang sepuluh topik riset yang sering dilalkukan terkait perubahan iklim," ujar Wayan dalam acara Think Climate Indonesia (TCI) Forum Dialogue yang diadakan di Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2022.

Topik pertama adalah efek perubahan iklim terhadap pertanian. Kedua, dampak perubahan iklim terhadap ekonomi. Ketiga penanganan dampak perubahan iklim di masa mendatang.

Kemudian topik keempat adalah analisis kebijakan perubahan iklim. Topik kelima, perubahan iklim dan ancaman terhadap kesehatan. Keenam, pemahaman dan penyadaran terkait fenomena perubahan iklim.

Lalu topik ketujuh adalah dampak emisi karbon terhadap perubahan iklim. Kedelapan, riset mengenai bukti-bukti adanya perubahan iklim. Kesembilan, penyebab dan upaya mitigasi perubahan iklim. Dan kesepuluh, topik polusi industri dan efeknya terhadap perubahan iklim.

Wayan menyampaikan bahwa riset-riset sering kali menampilkan data dan fakta yang sangat kuat mengenai perubahan iklim. Namun, menurutnya, yang terpenting adalah "bagaimana mengamplifikasikan riset itu ke dalam action atau program yang real dalam mendukungan capaian program penurunan emisi."

"Kalau kita lihat dari (dokumen) NDC ((Nationally Determined Contribution) kita, ada tiga sektor utama yang memiliki (target) capaian penurunan emisi yang cukup besar. Pertama, dari sektor kehutanan. Kedua, energi, industri, dan transportasi. Ketiga, dari limbah," papar Wayan.

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Penyakit Patogen Manusia Kian Bertambah Parah

Baca Juga: Banyak Sungai di Dunia Telah Berubah dan Manusia adalah Pelakunya

Baca Juga: Apakah Gaya Hidup Vegan adalah Solusi untuk Perubahan Iklim?

Bejo Untung, Direktur Eksekutif PATTIRO, organisasi riset dan advokasi non-pemerintah, mengatakan bahwa teman-teman pegiat lingkungan di tingkat subnasional atau tingkat tapak di daerah-derah sebenarnya sudah berusaha mendorong pembangunan rendah karbon dalam masyarakat. "Sebetulnya kebanyakan sudah memasukkan rencana pembangunan terkait dengan pembangunan rendah karbon yang targetnya tentu saja penurunan emisi dan sebagainya," katanya.

"Dan kalau kita lihat di aksi-aksi kegiatannya, dari beberapa yang kita riset, itu masih terkait dengan, kalau tidak dengan rehabilitasi hutan dan lahan, itu adalah penanggulangan karhutla (kebakaran hutan dan lahan)," bebernya.

"Jadi, pembangunan terkait rendah kerbon [di daerah-daerah] itu masih sebatas itu, belum dikaitkan dengan misalnya dengan aspek-aspek pertanian, apalagi di sektor-sektor yang lebih sophisticated [canggih] seperti energi baru terbarukan dan lain-lain."

Wayan menambahkan bahwa dalam melakukan riset di daerah perlu adanya penyesuaian bahasa dengan masyarakat setempat. "Misalnya di bidang perhutanan sosial, ada beberapa aspek yang kalau kita membahasakan riset di tingkat daerah atau tingkat tapak itu bukan dengan bahasa perubahan iklim. Tapi dengan bahasa kebutuhan mereka sehari-hari," ucapnya.

Ia mencontohkan salah satu riset BRIN di suatu daerah di Sulawesi Selatan. Kebetulan, kebutuhan listrik di daerah itu belum terpenuhi karena belum adanya pasokan listrik. "Kemudian didekati dari pendekatan kebutuhan mereka akan kebutuhan energi listrik. Tapi mereka awalnya tidak tahu bahwa energi listrik [mikrohidro] itu kan dipasok dari debit airnya, dari tanaman. Berarti harus nanam pohon. Nah, secara langsung manfaat tanaman kan selain untuk ke mikrohidro dia juga sebagai penyerap emisi karbon."

"Nah, bahasa-bahasa seperti ini yang dari awal tidak kita sampaikan ke mereka. Tapi riset ini menjawab dulu kebutuhan mereka seperti apa di tingkat tapak," tegas Wayan.

Wayan juga memberi sampel lain, yakni program penamanan kembali wilayah hutan. Program ini sebaiknya memilih jenis-jenis pohon yang tak hanya sesuai dengan jenis lahan atau tanah yang perlu ditanam, tetapi juga sesuai dengan kebetuhan masyarakat setempat. Jadi, program ini bakal terus berlanjut dan mendapat dukungan masyarakat.

Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo