Nationalgeographic.co.id—Dahulu, perburuan jadi salah satu rekreasi favorit di Hindia Belanda. Mulai dari orang Eropa hingga ratusan pribumi, turut memeriahkan perburuan. Di daerah Priangan umumnya, perburuan selalu meriah.
Kemunculan satwa liar memacu adrenalin para pemburu sebagai salah satu rekreasi tersendiri bagi mereka. Kasus perburuan tersebut pernah terjadi di tahun 1916, di wilayah belantara Ciater, Subang, Priangan.
Budi Gustaman menulis dalam jurnal Patanjala berjudul "Sisi Lain Kehidupan Preangerplanters: dari Perburuan hingga Gagasan Konservasi Satwa Liar" yang diterbitkan pada tahun 2019.
Saking ramainya, momen berburu itu juga sempat diabadikan oleh Ph.G. Carli dalam koran mingguan De Reflektor Geillustreerd Weekblad voor Ned-Indie. Terlihat suasana ramai yang kental dengan suasana rekreatif.
Struby, seorang administrator perkebunan di wilayah Ciater ini, mengundang orang-orang Belanda dan Inggris dari Batavia untuk berburu banteng di wilayah perkebunannya.
Perburuan ini dimeriahkan oleh keterlibatan 300 orang pribumi dengan dibangunnya 17 panggung. Tak kalah banyak juga jumlah orang-orang Belanda yang terlibat dalam perburuan tersebut.
Para pribumi membawa sejumlah kentongan bambu untuk mengundang satwa liar, seperti badak dan banteng, keluar dari persembunyiannya. "Setelah satwa liar mulai bermunculan, pemburu yang terdiri dari orang Eropa dan pribumi mulai menembakinya," imbuh Gustaman.
Eduard Julius Kerkhoven yang sering memfasilitasi tamu-tamu yang akan berburu di wilayah Garut atau Cianjur, merasa tidak sepakat dengan perburuan jenis ini. Baginya, perburuan ini seperti pembantaian hewan yang terorganisir.
Kerkhoven yang tidak suka terhadap tata cara perburuan ini, memiliki keinginan untuk membeli sebidang tanah di pantai selatan, sebuah alam liar dengan hutan dan gunung-gunung.
Keinginan ini pada akhirnya terealisasi dengan pendirian perkumpulan berburu bernama venatoria pada 1898 oleh Rudolf Eduard Kerkhoven dan Adriaan Kerkhoven. Venatoria inilah yang kemudian menjadi cikal bakal konservasi satwa di Hinida Belanda.
"Venatoria memiliki wilayah perburuan khusus di Cikepuh, Sukabumi. Pemilihan Cikepuh diperkirakan karena berdekatan dengan wilayah perkebunan, serta masih banyaknya satwa liar, seperti banteng dan rusa," terusnya.
Baca Juga: Pembentukan Cagar Alam Semasa Hindia Belanda oleh S.H. Koorders
Baca Juga: Orang Belanda dalam Perburuan Hewan Buas di Belantara Priangan
Baca Juga: 170 Tahun Kebun Raya Cibodas: Usaha Konservasi hingga Wisata Alam
Sebagai wilayah berburu, di Cikepuh dibangun pondok khusus untuk berburu. Setiap perburuan diawasi oleh anggota venatoria yang tugasnya menjadi jachtopziener atau pengawas perburuan.
Menurut Gustaman, venatoria sejatinya tidak hanya membunuh satwa liar untuk kesenangan semata, tetapi juga memperhatikan unsur-unsur kelestariannya.
Perkumpulan ini telah meletakkan dasar-dasar konservasi satwa liar, di mana mereka telah mengubah hutan di Priangan Selatan menjadi hutan lindung. Pendirian venatoria ini memang menjadi cikal bakal gagasan konservasi satwa liar, khususnya di wilayah Priangan.
Berdasarkan jurnal Peter Boomgaard berjudul "Oriental Nature, its Friends and its Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889-1949" (1999), di wilayah ini, venatoria berperan dalam melestarikan banteng (Bos Sondaicus).
"Jumlah banteng di wilayah ini terus meningkat dari 150 pada tahun 1899, menjadi 700 di tahun 1906," tegas Boomgard dalam tulisannya. Selain itu, venatoria pun mencurahkan perhatiannya pada pengawasan kawasan hutan di Ujung Kulon.