Nationalgeographic.co.id—Untuk menandai 40 tahun Program Penelitian Ekologis Jangka Panjang AS (LTER), para peneliti baru saja menerbitkan serangkaian artikel tentang bagaimana perubahan iklim memengaruhi wilayah-wilayah yang mereka teliti. Salah satu peneliti yang terlibat dalam program tersebut adalah ahli biologi kelautan Hugh Ducklow.
Ducklow mempelajari soal jaring makanan laut serta interaksinya dengan sifat-sifat fisik lautan. Dalam proyek LTER, ia memimpin bagian penelitian tentang lingkungan laut terbuka yang mencakup Antarktika hingga perairan Alaska, California dan Northeast AS.
Saat ditanya mengapa kita harus peduli pada dampak perubahan iklim terhadap laut, Ducklow menjelaskan betapa pentingnya peran laut. "Selain fakta bahwa makanan laut merupakan sumber protein utama bagi sekitar 3 miliar orang, lautan menyerap sejumlah besar panas berlebih dan karbon dioksida yang dihasilkan manusia," ujarnya.
"Sekitar 90 persen dari semua kelebihan panas yang dihasilkan oleh efek rumah kaca sejak Revolusi Industri ada di lautan. Lautan global juga telah mengambil sekitar seperempat hingga sepertiga dari emisi karbon dioksida kita. Kedua proses ini menjaga suhu udara lebih dingin daripada yang seharusnya," papar Ducklow seperti ditulis oleh Kevin Krajick di laman Earth Institute, bagian dari Columbia University.
"Tapi keduanya menghasilkan kerugian lain. Lautan memanas sebagai akibat dari tambahan panas. Sinyal pemanasan yang disebabkan oleh manusia bahkan dapat dideteksi di kedalaman Samudra Selatan. Peningkatan penyerapan karbon dioksida menyebabkan pengasaman laut. Konsekuensi ekologis dari pemanasan dan pengasaman baru mulai dipahami, dan kapasitas masa depan untuk terus menyimpan panas dan CO2 tidak pasti," bebernya.
Ducklow juga menjelaskan bahwa lautan memanas, tetapi pemanasan dan efeknya tidak seragam dalam ruang atau waktu. Respons terhadap perubahan iklim oleh sistem fisik laut paling kuat dan paling jelas terlihat di permukaan.
"Ini penting karena panas dan CO2 dipertukarkan di sana (permukaan laut), dan karena fitoplankton tumbuh di sana. Tergantung pada angin, badai dan arus, lapisan permukaan akan bervariasi kedalamannya dari hampir nol di musim panas hingga lebih dari 1.000 meter di musim dingin. Suhu memengaruhi kedalaman lapisan permukaan, dan dalam kasus situs kutub, hal itu juga memengaruhi es laut."
Lebih lanjut Ducklow juga menjelaskan, "Di dekat kutub di musim dingin, ada sedikit atau tidak ada penyinaran matahari, dan es laut menutupi lautan. Di musim semi, saat matahari terbit, permukaan laut menghangat dan es laut mencair, menambahkan air tawar ke permukaan. Perairan yang lebih hangat dan segar kurang padat daripada air yang lebih dingin dan lebih asin, sehingga lapisan permukaannya menjadi dangkal."
Kedalaman lapisan campuran permukaan semakin dangkal di sebagian besar lokasi di jaringan LTER —Palmer Antartika, landas kontinen Northeast AS, dan Teluk Utara Alaska. Namun, tidak ada perubahan yang nyata pada permukaan laut di Arus California, terlepas dari catatan pengamatan yang tak terputus sejak 1950 dan suhu air yang memanas.
Perubahan lapisan pemurkaan laut ini dapat membawa pengaruh besar. Sebab, kedalaman lapisan permukaan laut berfungsi mengontrol laju pertumbuhan fitoplankton.
"Ketika lapisan permukaan dangkal, fitoplankton mendapat limpahan sinar matahari, tetapi kekurangan akses ke nutrisi. Ketika lapisan permukaan dalam, fitoplankton dapat mengakses nutrisi, tetapi sinar matahari redup atau tidak ada. Tren fitoplankton telah didokumentasikan di beberapa, tetapi tidak semua situs LTER. Fitoplankton adalah satu-satunya organisme yang dapat dideteksi oleh satelit, tetapi tren kelimpahannya tidak begitu jelas seperti perubahan fisik yang baru saja saya jelaskan," kata Ducklow.
Baca Juga: Temuan Air Tertua di Dunia Menjelaskan Awal Mula Kehidupan di Bumi