Apa yang Membuat Otak Manusia Berbeda Dibandingkan Hewan Lainnya?

By Ricky Jenihansen, Jumat, 9 September 2022 | 15:00 WIB
Manusia memiliki kemampuan otak yang berbeda dengan hewan lainnya, bahkan kerabat dekat primata. (sfmorris)

Nationalgeographic.co.id—Dalam klasifikasi makhluk hidup, manusia termasuk dalam kingdom Animalia atau hewan. Namun tidak seperti hewan lainnya, manusia memiliki kemampuan otak yang berbeda dengan hewan lainnya. Apa yang membuat otak manusia berbeda?

Dalam analisis tipe sel di korteks prefrontal dari empat spesies primata, bahkan menunjukan otak manusia tidak hanya berbeda dengan hewan lainnya, tapi juga berbeda kerabat terdekat manusia yaitu primata. Para peneliti Yale University mengidentifikasi fitur-fitur spesifik spesies, khususnya manusia, menurut peneliti.

Dan para peneliti menemukan bahwa apa yang membuat kita menjadi manusia mungkin juga membuat kita rentan terhadap penyakit neuropsikiatri.

Temuan tersebut telah dipublikasikan di jurnal Science dengan judul "Molecular and cellular evolution of the primate dorsolateral prefrontal cortex" baru-baru ini. Penelitian ini didanai oleh National Institutes of Health dan National Institute of Mental Health.

Pada penelitian ini, para peneliti melihat secara khusus pada korteks prefrontal dorsolateral (dlPFC), wilayah otak yang unik untuk primata dan penting untuk kognisi tingkat tinggi.

Dengan menggunakan teknik pengurutan RNA sel tunggal, mereka membuat profil tingkat ekspresi gen dalam ratusan ribu sel yang dikumpulkan dari dlPFC manusia dewasa, simpanse, kera, dan monyet marmoset.

"Hari ini, kami melihat korteks prefrontal dorsolateral sebagai komponen inti dari identitas manusia, tetapi kami masih tidak tahu apa yang membuat ini unik pada manusia dan membedakan kami dari spesies primata lainnya," kata Nenad Sestan dan Kate Cushing di Yale University.

Sestan adalah Profesor Ilmu Saraf Harvey, sedangkan Cushing adalah profesor kedokteran komparatif, genetika dan psikiatri, dan penulis senior utama makalah ini. "Sekarang kita memiliki lebih banyak petunjuk," kata mereka.

Ilustrasi otak manusia. (MATT CARDY/GETTY IMAGES)

Untuk menjawab ini, para peneliti pertama-tama bertanya apakah ada jenis sel unik yang ada pada manusia atau spesies primata non-manusia lain yang dianalisis.

Setelah mengelompokkan sel dengan profil ekspresi yang sama, mereka mengungkapkan 109 jenis sel primata yang sama tetapi juga lima yang tidak umum untuk semua spesies. Ini termasuk jenis mikroglia, atau sel kekebalan spesifik otak, yang hanya ada pada manusia dan jenis kedua hanya dimiliki oleh manusia dan simpanse.

Jenis mikroglia spesifik manusia ada sepanjang perkembangan dan dewasa, para peneliti menemukan, menunjukkan sel-sel berperan dalam pemeliharaan pemeliharaan otak daripada memerangi penyakit.

"Kita manusia hidup di lingkungan yang sangat berbeda dengan gaya hidup yang unik dibandingkan dengan spesies primata lainnya dan sel glia, termasuk mikroglia, sangat sensitif terhadap perbedaan ini,” kata Sestan.

"Jenis mikroglia yang ditemukan di otak manusia mungkin mewakili respons imun terhadap lingkungan."

Baca Juga: Studi Baru: Tidak, Otak Manusia Tidak Menyusut 3.000 Tahun yang Lalu!

Baca Juga: Bagaimana Otak Manusia Mengetahui Tentang Seisi Alam Semesta?

Baca Juga: Meski Sudah Berevolusi, Ternyata Otak Homo Erectus Awal Mirip Kera 

Analisis ekspresi gen dalam mikroglia mengungkapkan kejutan khusus manusia lainnya, kehadiran gen FOXP2. Penemuan ini menimbulkan minat yang besar karena varian FOXP2 telah dikaitkan dengan dispraksia verbal, suatu kondisi di mana pasien mengalami kesulitan memproduksi bahasa atau bicara.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa FOXP2 dikaitkan dengan penyakit neuropsikiatri lainnya, seperti autisme, skizofrenia, dan epilepsi.

Sestan dan rekannya menemukan bahwa gen ini menunjukkan ekspresi spesifik primata dalam subset neuron rangsang dan ekspresi spesifik manusia dalam mikroglia.

"FOXP2 telah menarik banyak ilmuwan selama beberapa dekade, tetapi kami masih tidak tahu apa yang membuatnya unik pada manusia dibandingkan spesies primata lainnya," kata Shaojie Ma, rekan postdoctoral di lab Sestan dan penulis pendamping.

"Kami sangat senang dengan temuan FOXP2 karena mereka membuka arah baru dalam studi bahasa dan penyakit."